Thursday, December 13, 2018

Aku ini Bukan Kamu

Belakangan ini, seringkali kudengar kalimat;

“Seharusnya kamu begini—”
“Seharusnya kamu nggak begitu—”
“Kalau saya jadi kamu—”
dan masih banyak lagi.

Ini, perihal; persepsi atau penerimaan.

Aku adalah manusia dan makhluk sosial. Seorang yang tidak bisa menilai diri sendiri. Sebab, yang menilai orang lain. Tapi, bukan berarti tiap-tiap penilaian itu membuat hari-hari menjadi rusak. Penilaian yang terkesan mengecam dan membanding-bandingkan. Kupikir, itu bukan bagian dari menilai orang. Lebih-lebih, menilai dari fisiknya saja.

Kata orang, aku adalah pribadi yang ramai. Dan, ya, kuakui adalah benar. Aku senang bercanda dan tertawa. Terlalu serius bukanlah aku. Aku senang berada dalam lingkup yang mudah diajak bercanda.

Namun, jauh dari itu, aku tidak bisa membuat lingkungan menerima pribadiku seutuhnya yang seperti ini. Pribadi yang konyol. Aku tidak bisa mengarahkan persepsi mereka perihal guyonanku yang ramai ini. Aku tidak bisa memaksa mereka untuk paham dengan caraku berteman.

Dan, ya, karna itulah aku resah.
Karna belakangan ini, pribadiku dianggap tidak becus melakukan ini itu. Semua serba salah. Ah, aku ini memang tidak becus atau memang mereka yang menilai seenaknya? Memakan persepsi buta yang tidak benar adanya.

Namun, setelah dipikir, tidak ada gunanya memberitahu mereka bahwa sebenarnya apa yang telah mereka tahu perihal diriku tidaklah benar. Tidak ada gunanya pula berpusing-pusing ria mencari cara supaya mereka percaya, menerimaku seutuhnya, dan persepsinya terarah.

Untuk apa?

Bukankah, kalian semua tahu, kalau bumi dan langit itu berbeda? Namun, kenapa masih ingin menyamakannya pula?


Tertanda,
Puan.

Thursday, November 29, 2018

Saatnya Kita Saling Paham



Malam kemarin, kota ini disapa anak hujan. Aku dan dia, ada di dalamnya. Tapi, kali ini tidak bermain dengan air langit. Kondisiku sedang kurang baik.

“Kemarin, mantan aku nge-whatsapp,” katanya tiba-tiba di sela menunggu roti bakar pesananku.

Aku berdeham setelahnya. “Masa?”

“Iya.”
Dia merogoh saku celana. Meraih benda pipih di dalam sana. Kemudian, jarinya yang lihai menggeser ponsel pintar itu sampai bertemu dengan yang ia mau.

Sebuah percakapan ringan dan singkat bersama seorang perempuan yang pernah memiliki hatinya. Seorang perempuan yang tidak bisa kusebutkan namanya.

Percakapan ringan yang berisi pujian hasil pemotretan yang Zaky lakukan— lantaran beberapa menit lalu, Zaky memposting hasil karyanya.

“Aku bisa bayar rotinya sendiri. Aku bisa pulang sendiri.”
Kukembalikan ponselnya. Bergegas bangkit dan ingin pergi— meski sebenarnya aku tidak betulan mau melakukan itu. Aku tidak marah. Lagipula, apa yang harus dimarahkan?

“Jangan dong. Jangan!”
Dia berhasil meraih tanganku. Membawaku kembali duduk ke tempat semua— di sampingnya. “Jangan ngambek.”

“Ya, abisnya.”

“Bukannya lebih baik aku kasih tau ke kamu, terus kamu liat sendiri. Daripada aku nggak kasih tau kamu dan aku apus pesannya. Itu lebih sakit, 'kan?”

Aku diam. Sebab, dia ada benarnya.

“Sebenernya, kemarin mantan aku juga nge-whatsapp. Nanyain kabar.”

“Terus?”

“Aku jawab, kabar baik.”

Dia mengangguk pelan.
Membiarkan suasana kembali lengang. Yang sisa hanya suara percikan air langit yang berjatuhan mengenai atap warung roti bakar ini.

“Aku boleh ngomong?”
Kali ini, aku yang memulai percakapan. Meski kuakui, suasana malam ini tidak menjadi canggung. Lagipula, dia bukan tipikal orang yang memperpanjang masalah. Lebih-lebih, perihal masa lalu.

Sebelum dia menjawab pertanyaanku, roti bakar pesananku datang.

“Mau ngomong apa, Sayang?”

“Ngga tau kenapa, aku agak ngga suka liat kamu ngobrol atau deket sama Mala dan Ria.”

Dia mengernyitkan dahinya. “Lho, emangnya kenapa?”

Perlu kuberi tahu, salah satu dari nama perempuan yang kusebutkan tadi adalah perempuan yang pernah memiliki hati kekasihku.

“Ngga tau.” Aku mengangkat bahu. “Kamu sendiri tau, kalau Mala mudah baper sama orang lain. Kalau Ria ... agak centil gitu, sih. Aku ngga suka.”

Dia tersenyum. Menarik kursinya ke arahku— supaya semakin dekat.

“Sebenernya, aku juga rada kesel liat kamu bercanda bareng Sakti.”

Ah, lagi-lagi aku yang diam. Merasa sangat bersalah sudah membuatnya kesal. Terlebih, lantaran pria itu— pria yang sudah memiliki tunangan.

“Aku kesel bukan karna lagi jauh gini sama dia. Tapi aku kesel, karna aku tau, gimana dia dulunya ke kamu.”

“Maaf.”

Dia meraih jemariku. Mengenggam dan mengelusnya perlahan. Aku merasakan sugesti hangat setelah jemarinya bersatu dengan jemari tanganku.

“Udah, Ra. Ngga apa-apa. Yang penting, sekarang aku udah menang!”

“Menang?”


“Iya, menangin hati kamu.”

— — —

Malam itu, aku lihat bulan bersama awan. Zaky bilang, bulan akan menjadi saksi.


tertanda,
Puan.

Friday, October 5, 2018

Rumpang




Asap yang tercipta lantaran ayam bakar yang kupesan menjamah wajah. Dua langkah samping kiri Mas Tio— tukang pecel ayam, aku tepat berada di sana. Membolak-balik dada ayam dengan tekniknya. Mudah sekali kelihatannya.

Kemudian, pandanganku beralih ke depan. Kendaraan hilir-mudik. Diiringi dengan beberapa klakson yang agak berisik.

Malam ini dingin. Rasa-rasanya, jaket rajut yang kupakai tidak mampu mengalahkan dinginnya malam. Ngilu sampai ketulang.

“Kamu mau pesen apa, Ra?” Bola pria yang berada di depanku berputar. Melihat sisi dinding yang di tempel banner menu makanan. “Ayam bakar? Ayam goreng? Ayam penyet? Atau lele?”

Aku mengetuk-etukkan jari. Memutar bola mata, supaya terlihat seperti berpikir perihal menu yang ia tanyakan. Padahal, aku tidak ingin apa-apa.

Aku ingin dia.

“Apa aja, deh Kev.”

Dia sedikit mendengkus. Sebal barangkali. “Itu bukan jawaban, Ra. Ayo, kamu mau apa?”

“Ayam bakar. Aku mau yang di bakar-bakar,” jawabku sekenanya. Tapi, aku memang sedang ingin makanan yang di bakar. “Kamu mau apa?”

Kali ini, dia yang diam. Tampak berpikir. Sama seperti tingkahku beberapa menit lalu. Kemudian, dia mendekatkan wajahnya ke arahku. Dekat sekali. Hembusan napasnya pun sampai ke kulitku.

“Aku mau kamu, ditambah seribu persen perasaan sayang kamu ke aku. Boleh?”

Matanya menangkap mataku. Jarak antara aku dengannya kurang lebih lima sentimeter lagi. Sangat dekat. Aku mampu melihat bola matanya yang hitam pekat.

Aku tidak lagi banyak cakap. Lagipula, aku macam orang yang disihir menjadi bisu. Anggukan kepala kujadikan jawaban dari pertanyaannya.

Lagi-lagi, dia semakin mendekat. Tubuhku semakin kaku dibuat. Ah, ini warung pinggir jalan. Kupejamkan kedua mata, belum sanggup untuk melihat— meski hembusan napasnya semakin membuatku merinding.

“Mas, ayam bakarnya dua!”

Mataku sempurna terbuka lantaran suaranya yang lantang dan diikuti dengan gebrakan tangan di meja.

Sial! Dia mengelabuiku.

Buru-buru kujauhkan wajahku dari wajahnya. Memajukan bibir dan menoleh ke arah lain. Sedangkan dia tengah tertawa puas melihatku begitu. Pikirnya, recananya berhasil.

“Nggak lucu, Kev!”

Dia masih tertawa puas sambil memegang perutnya. “Biarin! Yang penting aku sayang kamu.”

Pria itu masih tertawa riang sampai perlahan hilang dan tersisa hanyalah bayang.

Meja nomor lima itu kosong melompong. Tidak ada siapapun di sana. Pun dengan meja-meja lainnya; kosong. Hanya ada aku, Mas Tio dan asistennya di belakang.

“Mbak, ini ayam bakarnya udah selesai.”

Tangan kananku cekatan meraih kantong plastik hitam yang berisi dua ayam bakar. Meraihnya dan memberinya selembar uang.

Sebelum benar-benar pergi, indra penglihatanku masih ingin bermain-main di meja nomor lima. Memutar waktu yang telah kuhabiskan pada masa itu di tempat yang sama.

Dan, ya... yang baru saja kulihat hanyalah sebuah reka ulang sikap manis pria yang pernah kusebut kekasih pada waktu itu. Pria yang pernah mengisi hari-hariku sampai jadi kelabu.

Terima kasih, Kev. Terima kasih selalu menolong disaat seperti ini! Aku mencintaimu.” —sebuah ungkapan yang kulihat di media sosial seorang perempuan yang kukenal dekat. Perempuan yang tengah bahagia dengan amat sangat.

Dia, teman lamaku.
Tengah berbahagia dengan pria yang baru saja kusebut-sebut di dalam ceritaku.

Selamat berbahagia untuk kalian berdua. Kuharap, tetap bersama hingga seterusnya.

Aku, teman lama dan perempuan yang pernah ada di dalam hatinya, hanya bisa berdoa dan mengenang apa-apa yang telah kupunya.

Pada tahun kelima,
Selamat berbahagia.

—dari Yara untuk Kevlar.


--



tertanda,
Puan.

Thursday, July 12, 2018

Masa-Masa Sulit

Menurutmu, seperti apa masa-masa sulit yang telah kamu lalui? Diremehkan, direndahkan di depan banyak orang, diinjak-injak harga dirimu hingga terasa hilang, dan yang lebih parahnya; hidup tapi terasa mati.

Benar?
Bila benar, aku sedang merasakannya.

Masa-masa sulit yang kukira hanyalah fiksi belaka adalah nyata. Masa-masa sulit itu membuatku merasa kesakitan hingga membunuhku secara perlahan.

Aku telah keluar dari zona nyaman; terlentang dan menatap awan, berpikir masa depan akan selalu nyaman bila kita bisa mengimbanginya. Namun, nyatanya salah. Keluar dari zona nyaman sama artinya dengan membunuh dirimu sendiri, terlebih bila mental belum benar-benar matang.

Aku benci memiliki perasaan dan prasangka seperti ini. Takut, berpikir negatif dan menerka-nerka yang tidak ada. Aku benci pribadiku yang seperti ini. Aku ingin kembali, tapi tetap berada di zonaku yang baru.


Namun, pada akhirnya aku paham. Duniaku memang milikku. Tapi, dunia tidak akan bisa mengikuti semua kemauanku.

Aku hidup bersama ratusan juta manusia dengan ratusan juta karakter pula. Mau-tak-mau, aku harus mengikuti, juga memahami. Dengan begitu, pribadi yang kubenci akan hilang pelan-pelan. Aku akan ikut nyaman dengan ratusan juta karakter yang kusebut menyebalkan. Aku akan kebal dengan berbagai macam karakter yang bahkan belum kutemui sekalipun,

Ya, mesti kuakui, perihal perasaan tetaplah perasaan.

Terlebih, aku adalah puan yang mudah membawa perasaan.


tertanda,
Puan.


di antara dua gedung kosong,
Kota Depok.

Pribadi Baik dan Diri Sendiri.

Pribadi baik dan diri sendiri adalah sebuah keterkaitan dalam pembentukan karakter. Menjadi pribadi baik karna diri sendiri itu mengagumkan, menurutku. Sebab, banyak manusia yang memiliki pribadi baik tapi bukan dirinya. Atau bahkan sebaliknya, dia menjadi diri sendiri tapi tidak memiliki pribadi yang baik.

Aku tidak mengatakan bahwa aku adalah seseorang yang memiliki kepribadian baik karna diri sendiri. Aku tetap manusia yang mnemiliki banyak kekurangan, layaknya banyak kalangan.

Namun biar begitu, sampai saat ini aku masih berusaha menjadi pribadi yang baik karna diri sendiri.

Sebab, menjadi pribadi baik tapi bukan karna diri sendiri adalah menyusahkan. Juga menjadi diri sendiri tapi tidak menjadi pribadi yang baik adalah merugikan. Menyusahkan dirimu, merugikan banyak pihak didekatmu.


tertanda,
Puan.

Monday, May 7, 2018

Waktu yang Kamu Punya


Bogor, 7 Mei 2018
Puanmu



/wak.tu/
yang kamu punya.

i.
“sayang, kapan ketemu?”
“minggu ini aku nggak bisa, ada tes di univ. yang aku kejar.”

ii.
“sayang, besok kita jadi ketemu?”
“gimana, ya? Lusa aku berangkat ke Bengkulu. Kamu ngerti, kan?”

iii.
“sayang, aku pengen ketemu.”
“aku juga. tapi untuk saat ini, kayaknya nggak bisa. masih banyak yang harus aku kerjain.”

iv.
“kita masih bisa ketemu?”
“maaf, tapi dia udah nunggu.”

Sampai-sampai aku lupa; bukan lagi aku yang bertempat di dalam dadamu.

Kukembalikan gagang telepon tersebut ke tempatnya. Kututup rapat-rapat.

Pun dengan telingaku, yang ikut kututup rapat-rapat dari kabar baru tentangmu— bersama kekasih barumu itu.



Tertanda,
Puan.

Friday, May 4, 2018

Risiko yang Menyenangkan

Bogor, 4 Mei 2018
Puanmu.



/ri.si.ko/
n. Akibat yang kurang menyenangkan dari suatu perbuatan atau tindakan.

Persis, seperti menaruh hati padamu.

Jatuh hati padamu sangatlah menyenangkan. Dibuat senang setiap saat. Namun risikonya, aku tidak akan siap bila nantinya jenuh mulai merasuki dirimu. Risikonya, perasaan ini tidak bisa kutahan untuk tidak mengikatmu.

Aku ingin mencintaimu dengan biasa-biasa saja. Supaya kedepannya, risiko yang kukatakan tidak ada. Tidak ada yang dirugikan pula. Tidak ada air mata, yang kuharap begitu.

Kamu menyenangkan, tapi bisa juga menyakitkan.

Maka dari itu, aku tidak ingin kehilangan arah.

Kumohon, jangan ajak aku terlalu bahagia hingga lupa bahwa sakit akan datang juga. Namun, jangan pula ajak aku menyelam luka-luka hingga lupa bahwa kita seharusnya merasakan bahagia.



Tertanda,
Puan.

Thursday, May 3, 2018

Pengagum Rahasia.




Bogor, 3 Mei 2018.
Puanmu

“Anak Gerhana Insani juga, ya?”

Sebuah motor hitam yang jarang kulihat berhenti di depanku. Bersama dengan pemiliknya yang tengah melepas helm cokelatnya.

Aku berhenti. “Iya.”

“Mau bareng? Nanti telat kalo jalan.”

“Nggak apa-apa. Gue bisa sendiri.”

“Kebetulan, gue anak GI juga. Jadi, ya... bareng aja.”



Lengkungan pada bibirku tercipta. Pagi tadi, kejadian itu. Masih saja terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak sempat berkenalan dengannya. Lebih tepatnya, aku tidak berani mengajaknya berkenalan.

Kini dia ada di depanku. Dua puluh meter dari pandanganku. Sejak tadi, aku menatapnya. Dia manis, dengan balutan sweater maroon.

“Hayo! Ngeliatin siapa?”

Tiya, sahabatku. Hobinya memang begitu; membuat orang lain terkejut.

“Bukan siapa-siapa.”

Dia mengedarkan pandangannya. Menoleh ke kanan dan ke kiri. “Oh, yang itu?”

Ah, ketauan!
Tiya menunjuk pemuda yang sejak tadi kuperhatikan.

“Kak Andi!”

Tiya berteriak.

Pemuda yang sejak tadi kutatap, menoleh dan tersenyum.

Ah, sial!



Tertanda,
Puan.

Proses yang Singkat.

Bogor, 3 Mei 2018.
Puanmu.

Beberapa waktu lalu, ada seorang pemuda yang mendatangiku. Dia tampan, rambutnya gondrong ditambah gingsulnya yang membuat pria itu tampak manis. Menggemaskan, pokoknya!

“Robby. Kalau kamu?”

Dia mengajakku berkenalan kala itu. Manis sekali perlakuannya kepadaku.

Aku sedikit berdeham. “Yara,” balasku singkat dengan senyum yang tidak ingin kalah manis dari dia tentunya.

Setelahnya, dia mengajak bicara banyak hal. Hal-hal yang tentunya tidak kutahu, tidak kutemukan pula. Robby adalah orang yang asyik, berpengetahuan luas dan... romantis. Dia adalah seorang penyair, ternyata.

“Kalau boleh bilang, sepertinya aku mulai menyukaimu,” katanya pada kencan ketiga. Dia mengajakku menikmati sejuknya sore di kota Bandung.

“Suka?” Sebenarnya aku tahu, kemana arahnya berbicara. Aku bertanya lagi, hanya untuk memastikan pendengaranku.

Dia mengangguk. “Rasa yang lebih dari seorang teman.”

Setelah pertemuan dua minggu lalu, hubunganku memang semakin dekat dengannya. Setiap hari saling memberi kabar; entah sekadar menelepon atau mengirim pesan. Kalau orang bilang, “masa pedekate.

Aku diam, tidak menjawab.

“Tidak apa, Ra. Aku juga tidak ingin terburu-buru. Biar kita saling menikmati dan menjalani hubungan ini.”

Aku diam lagi. Bingung harus menjawab apa.

Begini, aku tidak ragu. Hanya saja, aku memiliki luka yang belum seutuhnya pulih. Hampir pulih, sepertinya. Namun, untuk jatuh hati dengan waktu dekat, rasanya sulit. Bahkan, aku hampir takut untuk jatuh cinta lagi.

“Sebelumnya, aku tidak pernah takut untuk mengenal orang baru. Aku tidak pernah takut untuk jatuh cinta lagi dan lagi. Namun, saat aku semakin memberanikan diri. Pada saat itu pula, aku jatuh hingga bagian terdalam. Kamu tau, 'kan, bagaimana rasanya? Bila memang inginmu berproses, aku harap kamu tidak akan melakukan hal yang sama, ketika aku kembali memberanikan diri,” kataku menegaskan. Jujur, untuk mengatakan hal ini, aku perlu meneguk saliva dan mengatur napas berkali-kali.

“Aku memang tidak menjajikan bahwa kamu akan baik-baik saja jika mencintai aku. Jujur, aku bukan seorang pejanji yang janji-janjiku bisa menenangkan dirimu. Cukup yakin terhadap apa yang kamu beranikan, aku akan membalasnya dengan lebih dari apapun yang kamu kira. Jika kamu serius aku akan amat sangat lebih serius. Hanya itu yang harus kamu tahu, jalankan dulu dan kamu akan jatuh cinta nantinya,” balasmu, meyakinkanku tentang perasaanmu.

Tahu, bagaimana perasaanku? Tahu, bagaimana hari-hariku selanjutnya? Sudah pasti, menyenangkan!

“Jangan panas-panasan! Nanti kamu luntur. Aku tidak ingin kamu merasakan hal itu,” katamu menggoda saat siang hari mengitari kota, menemaniku mencari makan siang. Aku hampir terkejut saat kamu katakan, “Jangan!” kukira betulan.

Pagi ke pagi. Kamu selalu menemani. Entah datang ke rumahku, atau sekadar melakukan panggilan video sampai aku tertidur. Suatu hal manis yang sebelumnya jarang sekali kudapati.

Kalau boleh bilang, aku beruntung memilikimu.

“Sebentar, nanti kukabari lagi. Tugas kuliahku menumpuk,” balasmu saat berkali-kali kucoba mengirim pesan.

“Kamu harus paham. Temanku bukan hanya lelaki, tapi perempuan juga. Jangan cemburu, mereka hanya temanku,” jelasmu saat api menyebalkan dalam dadaku mulai memburu. Kulihat pada akun sosial mediamu, terpajang foto bersama perempuan lain yang kamu sebut teman.

“Yara, aku nggak sama kayak ekspetasi kamu.” Tiba-tiba nadamu menekan saat kutanya perihal kejelasan kita.

Anggap saja benar; status tidak menjamin kebahagiaan.
Tapi status, barangkali menjamin namaku ada di dalam dadamu.

“Kita coba jalani dulu urusan masing-masing. Oke?”

Sampai sekarang, aku belum mengerti maksudmu itu. Berpisahkah atau bagaimana?
Namun, jujur. Aku benci seperti ini. Padahal, awalnya kamu yang bersikukuh meyakinkanku perihal perasaanmu. Kalau sudah begini, pantas kusebut omong kosong?

“Maaf, tapi aku mencintai perempuan lain.” Satu bulan setelah meminta untuk menekuni urusan masing-masing. Kalau begini, sudah pantas kusebut bajingan?

Terserah saja, lah. Toh, hasilnya akan sama saja.
Tetapi, terima kasih telah mengisi ruangku yang sepi. Walaupun kamu tidak menetap dan mengisi kekosongan hati ini.

Darimu, aku kembali belajar untuk tidak lagi mudah membuka hati dan memberanikan diri, setelah dibuat jatuh dan hancur berkali-kali.



Tertanda,
Puan.