Asap yang tercipta lantaran ayam bakar yang kupesan menjamah
wajah. Dua langkah samping kiri Mas Tio— tukang pecel ayam, aku tepat berada di
sana. Membolak-balik dada ayam dengan tekniknya. Mudah sekali kelihatannya.
Kemudian, pandanganku beralih ke depan. Kendaraan
hilir-mudik. Diiringi dengan beberapa klakson yang agak berisik.
Malam ini dingin. Rasa-rasanya, jaket rajut yang kupakai
tidak mampu mengalahkan dinginnya malam. Ngilu sampai ketulang.
“Kamu mau pesen apa, Ra?” Bola pria yang berada di depanku
berputar. Melihat sisi dinding yang di tempel banner menu makanan. “Ayam bakar?
Ayam goreng? Ayam penyet? Atau lele?”
Aku mengetuk-etukkan jari. Memutar bola mata, supaya
terlihat seperti berpikir perihal menu yang ia tanyakan. Padahal, aku tidak
ingin apa-apa.
Aku ingin dia.
“Apa aja, deh Kev.”
Dia sedikit mendengkus. Sebal barangkali. “Itu bukan
jawaban, Ra. Ayo, kamu mau apa?”
“Ayam bakar. Aku mau yang di bakar-bakar,” jawabku
sekenanya. Tapi, aku memang sedang ingin makanan yang di bakar. “Kamu mau apa?”
Kali ini, dia yang diam. Tampak berpikir. Sama seperti
tingkahku beberapa menit lalu. Kemudian, dia mendekatkan wajahnya ke arahku.
Dekat sekali. Hembusan napasnya pun sampai ke kulitku.
“Aku mau kamu, ditambah seribu persen perasaan sayang kamu
ke aku. Boleh?”
Matanya menangkap mataku. Jarak antara aku dengannya kurang
lebih lima sentimeter lagi. Sangat dekat. Aku mampu melihat bola matanya yang
hitam pekat.
Aku tidak lagi banyak cakap. Lagipula, aku macam orang yang
disihir menjadi bisu. Anggukan kepala kujadikan jawaban dari pertanyaannya.
Lagi-lagi, dia semakin mendekat. Tubuhku semakin kaku
dibuat. Ah, ini warung pinggir jalan. Kupejamkan kedua mata, belum sanggup
untuk melihat— meski hembusan napasnya semakin membuatku merinding.
“Mas, ayam bakarnya dua!”
Mataku sempurna terbuka lantaran suaranya yang lantang dan
diikuti dengan gebrakan tangan di meja.
Sial! Dia mengelabuiku.
Buru-buru kujauhkan wajahku dari wajahnya. Memajukan bibir
dan menoleh ke arah lain. Sedangkan dia tengah tertawa puas melihatku begitu.
Pikirnya, recananya berhasil.
“Nggak lucu, Kev!”
Dia masih tertawa puas sambil memegang perutnya. “Biarin!
Yang penting aku sayang kamu.”
Pria itu masih tertawa riang sampai perlahan hilang dan tersisa
hanyalah bayang.
Meja nomor lima itu kosong melompong. Tidak ada siapapun di
sana. Pun dengan meja-meja lainnya; kosong. Hanya ada aku, Mas Tio dan
asistennya di belakang.
“Mbak, ini ayam bakarnya udah selesai.”
Tangan kananku cekatan meraih kantong plastik hitam yang
berisi dua ayam bakar. Meraihnya dan memberinya selembar uang.
Sebelum benar-benar pergi, indra penglihatanku masih ingin
bermain-main di meja nomor lima. Memutar waktu yang telah kuhabiskan pada masa
itu di tempat yang sama.
Dan, ya... yang baru saja kulihat hanyalah sebuah reka ulang
sikap manis pria yang pernah kusebut kekasih pada waktu itu. Pria yang pernah
mengisi hari-hariku sampai jadi kelabu.
“Terima kasih, Kev. Terima kasih selalu menolong disaat
seperti ini! Aku mencintaimu.” —sebuah ungkapan yang kulihat di media sosial
seorang perempuan yang kukenal dekat. Perempuan yang tengah bahagia dengan amat
sangat.
Dia, teman lamaku.
Tengah berbahagia dengan pria yang baru saja kusebut-sebut
di dalam ceritaku.
Selamat berbahagia untuk kalian berdua. Kuharap, tetap
bersama hingga seterusnya.
Aku, teman lama dan perempuan yang pernah ada di dalam
hatinya, hanya bisa berdoa dan mengenang apa-apa yang telah kupunya.
Pada tahun kelima,
Selamat berbahagia.
—dari Yara untuk Kevlar.
--
tertanda,
Puan.

No comments:
Post a Comment