Thursday, November 29, 2018

Saatnya Kita Saling Paham



Malam kemarin, kota ini disapa anak hujan. Aku dan dia, ada di dalamnya. Tapi, kali ini tidak bermain dengan air langit. Kondisiku sedang kurang baik.

“Kemarin, mantan aku nge-whatsapp,” katanya tiba-tiba di sela menunggu roti bakar pesananku.

Aku berdeham setelahnya. “Masa?”

“Iya.”
Dia merogoh saku celana. Meraih benda pipih di dalam sana. Kemudian, jarinya yang lihai menggeser ponsel pintar itu sampai bertemu dengan yang ia mau.

Sebuah percakapan ringan dan singkat bersama seorang perempuan yang pernah memiliki hatinya. Seorang perempuan yang tidak bisa kusebutkan namanya.

Percakapan ringan yang berisi pujian hasil pemotretan yang Zaky lakukan— lantaran beberapa menit lalu, Zaky memposting hasil karyanya.

“Aku bisa bayar rotinya sendiri. Aku bisa pulang sendiri.”
Kukembalikan ponselnya. Bergegas bangkit dan ingin pergi— meski sebenarnya aku tidak betulan mau melakukan itu. Aku tidak marah. Lagipula, apa yang harus dimarahkan?

“Jangan dong. Jangan!”
Dia berhasil meraih tanganku. Membawaku kembali duduk ke tempat semua— di sampingnya. “Jangan ngambek.”

“Ya, abisnya.”

“Bukannya lebih baik aku kasih tau ke kamu, terus kamu liat sendiri. Daripada aku nggak kasih tau kamu dan aku apus pesannya. Itu lebih sakit, 'kan?”

Aku diam. Sebab, dia ada benarnya.

“Sebenernya, kemarin mantan aku juga nge-whatsapp. Nanyain kabar.”

“Terus?”

“Aku jawab, kabar baik.”

Dia mengangguk pelan.
Membiarkan suasana kembali lengang. Yang sisa hanya suara percikan air langit yang berjatuhan mengenai atap warung roti bakar ini.

“Aku boleh ngomong?”
Kali ini, aku yang memulai percakapan. Meski kuakui, suasana malam ini tidak menjadi canggung. Lagipula, dia bukan tipikal orang yang memperpanjang masalah. Lebih-lebih, perihal masa lalu.

Sebelum dia menjawab pertanyaanku, roti bakar pesananku datang.

“Mau ngomong apa, Sayang?”

“Ngga tau kenapa, aku agak ngga suka liat kamu ngobrol atau deket sama Mala dan Ria.”

Dia mengernyitkan dahinya. “Lho, emangnya kenapa?”

Perlu kuberi tahu, salah satu dari nama perempuan yang kusebutkan tadi adalah perempuan yang pernah memiliki hati kekasihku.

“Ngga tau.” Aku mengangkat bahu. “Kamu sendiri tau, kalau Mala mudah baper sama orang lain. Kalau Ria ... agak centil gitu, sih. Aku ngga suka.”

Dia tersenyum. Menarik kursinya ke arahku— supaya semakin dekat.

“Sebenernya, aku juga rada kesel liat kamu bercanda bareng Sakti.”

Ah, lagi-lagi aku yang diam. Merasa sangat bersalah sudah membuatnya kesal. Terlebih, lantaran pria itu— pria yang sudah memiliki tunangan.

“Aku kesel bukan karna lagi jauh gini sama dia. Tapi aku kesel, karna aku tau, gimana dia dulunya ke kamu.”

“Maaf.”

Dia meraih jemariku. Mengenggam dan mengelusnya perlahan. Aku merasakan sugesti hangat setelah jemarinya bersatu dengan jemari tanganku.

“Udah, Ra. Ngga apa-apa. Yang penting, sekarang aku udah menang!”

“Menang?”


“Iya, menangin hati kamu.”

— — —

Malam itu, aku lihat bulan bersama awan. Zaky bilang, bulan akan menjadi saksi.


tertanda,
Puan.

No comments:

Post a Comment