Bogor, 3 Mei 2018.
Puanmu.
Beberapa waktu lalu, ada seorang pemuda yang mendatangiku. Dia tampan, rambutnya gondrong ditambah gingsulnya yang membuat pria itu tampak manis. Menggemaskan, pokoknya!
“Robby. Kalau kamu?”
Dia mengajakku berkenalan kala itu. Manis sekali perlakuannya kepadaku.
Aku sedikit berdeham. “Yara,” balasku singkat dengan senyum yang tidak ingin kalah manis dari dia tentunya.
Setelahnya, dia mengajak bicara banyak hal. Hal-hal yang tentunya tidak kutahu, tidak kutemukan pula. Robby adalah orang yang asyik, berpengetahuan luas dan... romantis. Dia adalah seorang penyair, ternyata.
“Kalau boleh bilang, sepertinya aku mulai menyukaimu,” katanya pada kencan ketiga. Dia mengajakku menikmati sejuknya sore di kota Bandung.
“Suka?” Sebenarnya aku tahu, kemana arahnya berbicara. Aku bertanya lagi, hanya untuk memastikan pendengaranku.
Dia mengangguk. “Rasa yang lebih dari seorang teman.”
Setelah pertemuan dua minggu lalu, hubunganku memang semakin dekat dengannya. Setiap hari saling memberi kabar; entah sekadar menelepon atau mengirim pesan. Kalau orang bilang, “masa pedekate.”
Aku diam, tidak menjawab.
“Tidak apa, Ra. Aku juga tidak ingin terburu-buru. Biar kita saling menikmati dan menjalani hubungan ini.”
Aku diam lagi. Bingung harus menjawab apa.
Begini, aku tidak ragu. Hanya saja, aku memiliki luka yang belum seutuhnya pulih. Hampir pulih, sepertinya. Namun, untuk jatuh hati dengan waktu dekat, rasanya sulit. Bahkan, aku hampir takut untuk jatuh cinta lagi.
“Sebelumnya, aku tidak pernah takut untuk mengenal orang baru. Aku tidak pernah takut untuk jatuh cinta lagi dan lagi. Namun, saat aku semakin memberanikan diri. Pada saat itu pula, aku jatuh hingga bagian terdalam. Kamu tau, 'kan, bagaimana rasanya? Bila memang inginmu berproses, aku harap kamu tidak akan melakukan hal yang sama, ketika aku kembali memberanikan diri,” kataku menegaskan. Jujur, untuk mengatakan hal ini, aku perlu meneguk saliva dan mengatur napas berkali-kali.
“Aku memang tidak menjajikan bahwa kamu akan baik-baik saja jika mencintai aku. Jujur, aku bukan seorang pejanji yang janji-janjiku bisa menenangkan dirimu. Cukup yakin terhadap apa yang kamu beranikan, aku akan membalasnya dengan lebih dari apapun yang kamu kira. Jika kamu serius aku akan amat sangat lebih serius. Hanya itu yang harus kamu tahu, jalankan dulu dan kamu akan jatuh cinta nantinya,” balasmu, meyakinkanku tentang perasaanmu.
Tahu, bagaimana perasaanku? Tahu, bagaimana hari-hariku selanjutnya? Sudah pasti, menyenangkan!
“Jangan panas-panasan! Nanti kamu luntur. Aku tidak ingin kamu merasakan hal itu,” katamu menggoda saat siang hari mengitari kota, menemaniku mencari makan siang. Aku hampir terkejut saat kamu katakan, “Jangan!” kukira betulan.
Pagi ke pagi. Kamu selalu menemani. Entah datang ke rumahku, atau sekadar melakukan panggilan video sampai aku tertidur. Suatu hal manis yang sebelumnya jarang sekali kudapati.
Kalau boleh bilang, aku beruntung memilikimu.
“Sebentar, nanti kukabari lagi. Tugas kuliahku menumpuk,” balasmu saat berkali-kali kucoba mengirim pesan.
“Kamu harus paham. Temanku bukan hanya lelaki, tapi perempuan juga. Jangan cemburu, mereka hanya temanku,” jelasmu saat api menyebalkan dalam dadaku mulai memburu. Kulihat pada akun sosial mediamu, terpajang foto bersama perempuan lain yang kamu sebut teman.
“Yara, aku nggak sama kayak ekspetasi kamu.” Tiba-tiba nadamu menekan saat kutanya perihal kejelasan kita.
Anggap saja benar; status tidak menjamin kebahagiaan.
Tapi status, barangkali menjamin namaku ada di dalam dadamu.
“Kita coba jalani dulu urusan masing-masing. Oke?”
Sampai sekarang, aku belum mengerti maksudmu itu. Berpisahkah atau bagaimana?
Namun, jujur. Aku benci seperti ini. Padahal, awalnya kamu yang bersikukuh meyakinkanku perihal perasaanmu. Kalau sudah begini, pantas kusebut omong kosong?
“Maaf, tapi aku mencintai perempuan lain.” Satu bulan setelah meminta untuk menekuni urusan masing-masing. Kalau begini, sudah pantas kusebut bajingan?
Terserah saja, lah. Toh, hasilnya akan sama saja.
Tetapi, terima kasih telah mengisi ruangku yang sepi. Walaupun kamu tidak menetap dan mengisi kekosongan hati ini.
Darimu, aku kembali belajar untuk tidak lagi mudah membuka hati dan memberanikan diri, setelah dibuat jatuh dan hancur berkali-kali.
—
Tertanda,
Puan.
Puanmu.
Beberapa waktu lalu, ada seorang pemuda yang mendatangiku. Dia tampan, rambutnya gondrong ditambah gingsulnya yang membuat pria itu tampak manis. Menggemaskan, pokoknya!
“Robby. Kalau kamu?”
Dia mengajakku berkenalan kala itu. Manis sekali perlakuannya kepadaku.
Aku sedikit berdeham. “Yara,” balasku singkat dengan senyum yang tidak ingin kalah manis dari dia tentunya.
Setelahnya, dia mengajak bicara banyak hal. Hal-hal yang tentunya tidak kutahu, tidak kutemukan pula. Robby adalah orang yang asyik, berpengetahuan luas dan... romantis. Dia adalah seorang penyair, ternyata.
“Kalau boleh bilang, sepertinya aku mulai menyukaimu,” katanya pada kencan ketiga. Dia mengajakku menikmati sejuknya sore di kota Bandung.
“Suka?” Sebenarnya aku tahu, kemana arahnya berbicara. Aku bertanya lagi, hanya untuk memastikan pendengaranku.
Dia mengangguk. “Rasa yang lebih dari seorang teman.”
Setelah pertemuan dua minggu lalu, hubunganku memang semakin dekat dengannya. Setiap hari saling memberi kabar; entah sekadar menelepon atau mengirim pesan. Kalau orang bilang, “masa pedekate.”
Aku diam, tidak menjawab.
“Tidak apa, Ra. Aku juga tidak ingin terburu-buru. Biar kita saling menikmati dan menjalani hubungan ini.”
Aku diam lagi. Bingung harus menjawab apa.
Begini, aku tidak ragu. Hanya saja, aku memiliki luka yang belum seutuhnya pulih. Hampir pulih, sepertinya. Namun, untuk jatuh hati dengan waktu dekat, rasanya sulit. Bahkan, aku hampir takut untuk jatuh cinta lagi.
“Sebelumnya, aku tidak pernah takut untuk mengenal orang baru. Aku tidak pernah takut untuk jatuh cinta lagi dan lagi. Namun, saat aku semakin memberanikan diri. Pada saat itu pula, aku jatuh hingga bagian terdalam. Kamu tau, 'kan, bagaimana rasanya? Bila memang inginmu berproses, aku harap kamu tidak akan melakukan hal yang sama, ketika aku kembali memberanikan diri,” kataku menegaskan. Jujur, untuk mengatakan hal ini, aku perlu meneguk saliva dan mengatur napas berkali-kali.
“Aku memang tidak menjajikan bahwa kamu akan baik-baik saja jika mencintai aku. Jujur, aku bukan seorang pejanji yang janji-janjiku bisa menenangkan dirimu. Cukup yakin terhadap apa yang kamu beranikan, aku akan membalasnya dengan lebih dari apapun yang kamu kira. Jika kamu serius aku akan amat sangat lebih serius. Hanya itu yang harus kamu tahu, jalankan dulu dan kamu akan jatuh cinta nantinya,” balasmu, meyakinkanku tentang perasaanmu.
Tahu, bagaimana perasaanku? Tahu, bagaimana hari-hariku selanjutnya? Sudah pasti, menyenangkan!
“Jangan panas-panasan! Nanti kamu luntur. Aku tidak ingin kamu merasakan hal itu,” katamu menggoda saat siang hari mengitari kota, menemaniku mencari makan siang. Aku hampir terkejut saat kamu katakan, “Jangan!” kukira betulan.
Pagi ke pagi. Kamu selalu menemani. Entah datang ke rumahku, atau sekadar melakukan panggilan video sampai aku tertidur. Suatu hal manis yang sebelumnya jarang sekali kudapati.
Kalau boleh bilang, aku beruntung memilikimu.
“Sebentar, nanti kukabari lagi. Tugas kuliahku menumpuk,” balasmu saat berkali-kali kucoba mengirim pesan.
“Kamu harus paham. Temanku bukan hanya lelaki, tapi perempuan juga. Jangan cemburu, mereka hanya temanku,” jelasmu saat api menyebalkan dalam dadaku mulai memburu. Kulihat pada akun sosial mediamu, terpajang foto bersama perempuan lain yang kamu sebut teman.
“Yara, aku nggak sama kayak ekspetasi kamu.” Tiba-tiba nadamu menekan saat kutanya perihal kejelasan kita.
Anggap saja benar; status tidak menjamin kebahagiaan.
Tapi status, barangkali menjamin namaku ada di dalam dadamu.
“Kita coba jalani dulu urusan masing-masing. Oke?”
Sampai sekarang, aku belum mengerti maksudmu itu. Berpisahkah atau bagaimana?
Namun, jujur. Aku benci seperti ini. Padahal, awalnya kamu yang bersikukuh meyakinkanku perihal perasaanmu. Kalau sudah begini, pantas kusebut omong kosong?
“Maaf, tapi aku mencintai perempuan lain.” Satu bulan setelah meminta untuk menekuni urusan masing-masing. Kalau begini, sudah pantas kusebut bajingan?
Terserah saja, lah. Toh, hasilnya akan sama saja.
Tetapi, terima kasih telah mengisi ruangku yang sepi. Walaupun kamu tidak menetap dan mengisi kekosongan hati ini.
Darimu, aku kembali belajar untuk tidak lagi mudah membuka hati dan memberanikan diri, setelah dibuat jatuh dan hancur berkali-kali.
—
Tertanda,
Puan.
Baca tulisanmu beresiko tinggi untuk baper 😥
ReplyDelete