Monday, May 7, 2018

Waktu yang Kamu Punya


Bogor, 7 Mei 2018
Puanmu



/wak.tu/
yang kamu punya.

i.
“sayang, kapan ketemu?”
“minggu ini aku nggak bisa, ada tes di univ. yang aku kejar.”

ii.
“sayang, besok kita jadi ketemu?”
“gimana, ya? Lusa aku berangkat ke Bengkulu. Kamu ngerti, kan?”

iii.
“sayang, aku pengen ketemu.”
“aku juga. tapi untuk saat ini, kayaknya nggak bisa. masih banyak yang harus aku kerjain.”

iv.
“kita masih bisa ketemu?”
“maaf, tapi dia udah nunggu.”

Sampai-sampai aku lupa; bukan lagi aku yang bertempat di dalam dadamu.

Kukembalikan gagang telepon tersebut ke tempatnya. Kututup rapat-rapat.

Pun dengan telingaku, yang ikut kututup rapat-rapat dari kabar baru tentangmu— bersama kekasih barumu itu.



Tertanda,
Puan.

Friday, May 4, 2018

Risiko yang Menyenangkan

Bogor, 4 Mei 2018
Puanmu.



/ri.si.ko/
n. Akibat yang kurang menyenangkan dari suatu perbuatan atau tindakan.

Persis, seperti menaruh hati padamu.

Jatuh hati padamu sangatlah menyenangkan. Dibuat senang setiap saat. Namun risikonya, aku tidak akan siap bila nantinya jenuh mulai merasuki dirimu. Risikonya, perasaan ini tidak bisa kutahan untuk tidak mengikatmu.

Aku ingin mencintaimu dengan biasa-biasa saja. Supaya kedepannya, risiko yang kukatakan tidak ada. Tidak ada yang dirugikan pula. Tidak ada air mata, yang kuharap begitu.

Kamu menyenangkan, tapi bisa juga menyakitkan.

Maka dari itu, aku tidak ingin kehilangan arah.

Kumohon, jangan ajak aku terlalu bahagia hingga lupa bahwa sakit akan datang juga. Namun, jangan pula ajak aku menyelam luka-luka hingga lupa bahwa kita seharusnya merasakan bahagia.



Tertanda,
Puan.

Thursday, May 3, 2018

Pengagum Rahasia.




Bogor, 3 Mei 2018.
Puanmu

“Anak Gerhana Insani juga, ya?”

Sebuah motor hitam yang jarang kulihat berhenti di depanku. Bersama dengan pemiliknya yang tengah melepas helm cokelatnya.

Aku berhenti. “Iya.”

“Mau bareng? Nanti telat kalo jalan.”

“Nggak apa-apa. Gue bisa sendiri.”

“Kebetulan, gue anak GI juga. Jadi, ya... bareng aja.”



Lengkungan pada bibirku tercipta. Pagi tadi, kejadian itu. Masih saja terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak sempat berkenalan dengannya. Lebih tepatnya, aku tidak berani mengajaknya berkenalan.

Kini dia ada di depanku. Dua puluh meter dari pandanganku. Sejak tadi, aku menatapnya. Dia manis, dengan balutan sweater maroon.

“Hayo! Ngeliatin siapa?”

Tiya, sahabatku. Hobinya memang begitu; membuat orang lain terkejut.

“Bukan siapa-siapa.”

Dia mengedarkan pandangannya. Menoleh ke kanan dan ke kiri. “Oh, yang itu?”

Ah, ketauan!
Tiya menunjuk pemuda yang sejak tadi kuperhatikan.

“Kak Andi!”

Tiya berteriak.

Pemuda yang sejak tadi kutatap, menoleh dan tersenyum.

Ah, sial!



Tertanda,
Puan.

Proses yang Singkat.

Bogor, 3 Mei 2018.
Puanmu.

Beberapa waktu lalu, ada seorang pemuda yang mendatangiku. Dia tampan, rambutnya gondrong ditambah gingsulnya yang membuat pria itu tampak manis. Menggemaskan, pokoknya!

“Robby. Kalau kamu?”

Dia mengajakku berkenalan kala itu. Manis sekali perlakuannya kepadaku.

Aku sedikit berdeham. “Yara,” balasku singkat dengan senyum yang tidak ingin kalah manis dari dia tentunya.

Setelahnya, dia mengajak bicara banyak hal. Hal-hal yang tentunya tidak kutahu, tidak kutemukan pula. Robby adalah orang yang asyik, berpengetahuan luas dan... romantis. Dia adalah seorang penyair, ternyata.

“Kalau boleh bilang, sepertinya aku mulai menyukaimu,” katanya pada kencan ketiga. Dia mengajakku menikmati sejuknya sore di kota Bandung.

“Suka?” Sebenarnya aku tahu, kemana arahnya berbicara. Aku bertanya lagi, hanya untuk memastikan pendengaranku.

Dia mengangguk. “Rasa yang lebih dari seorang teman.”

Setelah pertemuan dua minggu lalu, hubunganku memang semakin dekat dengannya. Setiap hari saling memberi kabar; entah sekadar menelepon atau mengirim pesan. Kalau orang bilang, “masa pedekate.

Aku diam, tidak menjawab.

“Tidak apa, Ra. Aku juga tidak ingin terburu-buru. Biar kita saling menikmati dan menjalani hubungan ini.”

Aku diam lagi. Bingung harus menjawab apa.

Begini, aku tidak ragu. Hanya saja, aku memiliki luka yang belum seutuhnya pulih. Hampir pulih, sepertinya. Namun, untuk jatuh hati dengan waktu dekat, rasanya sulit. Bahkan, aku hampir takut untuk jatuh cinta lagi.

“Sebelumnya, aku tidak pernah takut untuk mengenal orang baru. Aku tidak pernah takut untuk jatuh cinta lagi dan lagi. Namun, saat aku semakin memberanikan diri. Pada saat itu pula, aku jatuh hingga bagian terdalam. Kamu tau, 'kan, bagaimana rasanya? Bila memang inginmu berproses, aku harap kamu tidak akan melakukan hal yang sama, ketika aku kembali memberanikan diri,” kataku menegaskan. Jujur, untuk mengatakan hal ini, aku perlu meneguk saliva dan mengatur napas berkali-kali.

“Aku memang tidak menjajikan bahwa kamu akan baik-baik saja jika mencintai aku. Jujur, aku bukan seorang pejanji yang janji-janjiku bisa menenangkan dirimu. Cukup yakin terhadap apa yang kamu beranikan, aku akan membalasnya dengan lebih dari apapun yang kamu kira. Jika kamu serius aku akan amat sangat lebih serius. Hanya itu yang harus kamu tahu, jalankan dulu dan kamu akan jatuh cinta nantinya,” balasmu, meyakinkanku tentang perasaanmu.

Tahu, bagaimana perasaanku? Tahu, bagaimana hari-hariku selanjutnya? Sudah pasti, menyenangkan!

“Jangan panas-panasan! Nanti kamu luntur. Aku tidak ingin kamu merasakan hal itu,” katamu menggoda saat siang hari mengitari kota, menemaniku mencari makan siang. Aku hampir terkejut saat kamu katakan, “Jangan!” kukira betulan.

Pagi ke pagi. Kamu selalu menemani. Entah datang ke rumahku, atau sekadar melakukan panggilan video sampai aku tertidur. Suatu hal manis yang sebelumnya jarang sekali kudapati.

Kalau boleh bilang, aku beruntung memilikimu.

“Sebentar, nanti kukabari lagi. Tugas kuliahku menumpuk,” balasmu saat berkali-kali kucoba mengirim pesan.

“Kamu harus paham. Temanku bukan hanya lelaki, tapi perempuan juga. Jangan cemburu, mereka hanya temanku,” jelasmu saat api menyebalkan dalam dadaku mulai memburu. Kulihat pada akun sosial mediamu, terpajang foto bersama perempuan lain yang kamu sebut teman.

“Yara, aku nggak sama kayak ekspetasi kamu.” Tiba-tiba nadamu menekan saat kutanya perihal kejelasan kita.

Anggap saja benar; status tidak menjamin kebahagiaan.
Tapi status, barangkali menjamin namaku ada di dalam dadamu.

“Kita coba jalani dulu urusan masing-masing. Oke?”

Sampai sekarang, aku belum mengerti maksudmu itu. Berpisahkah atau bagaimana?
Namun, jujur. Aku benci seperti ini. Padahal, awalnya kamu yang bersikukuh meyakinkanku perihal perasaanmu. Kalau sudah begini, pantas kusebut omong kosong?

“Maaf, tapi aku mencintai perempuan lain.” Satu bulan setelah meminta untuk menekuni urusan masing-masing. Kalau begini, sudah pantas kusebut bajingan?

Terserah saja, lah. Toh, hasilnya akan sama saja.
Tetapi, terima kasih telah mengisi ruangku yang sepi. Walaupun kamu tidak menetap dan mengisi kekosongan hati ini.

Darimu, aku kembali belajar untuk tidak lagi mudah membuka hati dan memberanikan diri, setelah dibuat jatuh dan hancur berkali-kali.



Tertanda,
Puan.