Pukul dua lebih empat puluh dini hari. Lagi-lagi, aku tertidur di awal pagi.
Beberapa hari terakhir, jam tidur kacau-balau. Pun pikiran dan perasaan. Sedih datang tanpa diundang. Perih, rindu, kesal, sesak yang terus bergejolak. Bergantian menabrak dan menghantam tanpa ampun.
Malam ini, aku menangis lagi. Atas dasar rindu yang tidak berujung temu. Atas dasar peluk yang tidak singgah dalam rengkuh tuannya. Katanya, menangis adalah salah satu cara dari melegakan, juga melampiaskan. Tapi, aku lelah menangis tanpa tujuan. Menangisi seseorang yang sudah tertidur lelap dengan tenang.
Kalau saja berteman baik dengan tenang adalah kemudahan, aku senantiasa berkunjung ke rumahnya supaya jauh dari keributan kepala lantaran kesepian. Sebab, aku ingin juga merasa tenang sebagaimana dia yang tampak baik-baik saja meski aku tidak di sisinya. Aku ingin pula merasa ramai dan riang seperti dia yang tertawa puas meski keadaan tidak memungkinkan.
Hari itu, setelah kumantapkan diri dan hati untuk menerimanya, kupikir dia adalah akhir dari segalanya. Akhir dari sedih yang lalu-lalu tak berkesudahan. Akhir dari rindu yang selalu berujung temu. Akhir dari kata cinta yang kuyakin adalah menua, bersama. Tapi, nyatanya tidak. Ini adalah awal dari segalanya. Awal dari badai yang kelak mendatangkan pelangi. Awal dari tegarnya karang meski dihempas ombak berkali-kali.
“Tidak ada hubungan yang seratus persen berjalan sempurna,” —kutipan dari greatmind.id . Dan benar adanya. Fase yang sangat-sangat kubenci akhirnya menghampiri; sebuah pertengkaran. Setelah satu tahun berjalan, kerikil menyebalkan itu lebih mudah ditemukan. Kerikil yang biasa mudah kualihkan, kini menghantui jalanku. Terjal. Apalagi dengan kaki telanjang, sakit. Aku tidak akan menyebut diriku sebagai “korban” dari rindu yang belum terbalas. Karena pada hakikatnya, tiap hubungan tercipta lantaran adanya kesepakatan dari dua anak manusia yang saling mencintai. Tapi, aku cukup merasa berjalan tanpa alas di bawah terik matahari— beberapa bulan terakhir ini.
Aku tidak tahu, kapan surat ini sampai kepada kamu. Namun, kalau besok-lusa kamu berhasil menemukannya; mudah-mudahan kamu mengerti, ada banyak rindu yang tertanam sendiri. Tapi, ia tidak berbunga, apalagi memiliki buah. Lantaran, puannya sibuk memberi pupuk. Sampai lupa dengan air tenangnya.
Mudah-mudahan, kita masih bersama, sewaktu nanti kamu menemukannya.
Untuk,
Bas/Bal.
❤️'24.
Depok, Maret 2020.

No comments:
Post a Comment