Wednesday, September 2, 2020

di Kala Rindu


 

Pakaian-pakaian di dalam lemari sebulan belakangan ini tidak kuperdulikan— berantakan. Tiap pagi buru-buru mencari baju yang cocok untuk berangkat ke kantor, sampai lupa merapikannya seperti semula. Atau tiap kali libur, waktunya kupakai untuk tidur.


Satu-per-satu baju yang sudah tidak lagi berbentuk lipatan kuturunkan. Perlahan kulipat rapih berharap kusutnya menghilang— meski sama saja hasilnya. Di beberapa baju terakhir, kutemukan baju milik Baskara yang sempat diberikan untukku. Baju yang baru kupakai dua kali sejak ia berikan hingga hari ini.


“Kalau nanti aku pulang, baju ini bisa jadi obat kalo kamu kangen.”


“Maksudnya?” Dahiku mengernyit. “Kalo aku kangen, ya video call lah, Bas.”


“Dulu, sebelum ayahku pergi ke pulau rantaunya, baju terakhir yang dia pakai itu disimpan dan nggak dicuci. Ayah bilang, supaya wanginya tetep ada dan bisa  menjadi obat diwaktu mama kangen,” jelasnya. “Makanya, aku kasih baju ini ke kamu. Kalo besok lusa kamu kangen, baju ini bisa jadi obatnya.”


Aku tersenyum. Ternyata benar yang Baskara katakan. Tiap kali rindu, kuambil baju yang ia berikan dan kupeluk erat-erat. Harum tubuhnya begitu melekat. Seperti benar raganya yang kupeluk.


Lengkungan pada bibirku tercipta. Bajunya masih kurengkuh. Kedua mataku terpejam, seakan-akan Baskara berada di depan.


“Bas, kangen itu nggak ada habisnya.”



—Puan, Agustus 2020.

Friday, August 14, 2020

Ingar Bingar Petang


Terakhir kali duduk di depan mini market sambil menikmati ingar-bingar sore ialah diwaktu menunggu kedatanganmu.

Aku di Indomaret, ya. Beli minum dulu. Haus soalnya.” Pesan terkirim.

Duduk di tengah ramainya anak-anak manusia yang sedang bercengkarama— tapi aku tidak sendirian, karena ditemani Fruit Tea Blackcurrant. Sesekali kuteguk. Kemudian, kembali melirik ke kanan dan ke kiri.

Lima belas menit setelahnya, datanglah kamu dengan gagahnya si Merah— FightV kamu menyebutnya. Gaya motor yang paling khas— selama dua puluh tahun aku hidup dan melihat banyak kendaraan beroda dua. Debum knalpot yang mengisi dada dan telinga, serta lampu biru di bagian depan.

“Lama, ya?”

Aku menggeleng cepat. “Engga.”

“Capek?”

Aku menggeleng lagi. “Engga. Harusnya, aku yang tanya gitu. Kamu nggak cape, abis pulang kerja langsung jemput aku?”

Baskara tersenyum. “Engga. Capeknya hilang kalo liat kamu.”

Kujawab dengan tertawa kecil. Kemudian, kita saling bertukar tawa.

Pun sekarang, diwaktu sore dan di depan mini market yang sama— hanya saja berbeda tempat, kutulis cerita ini, Bas. Aku masih tertawa kecil mengingatnya. Namun, kali ini aku menunggu Papa datang menjemput— dan ditemani oleh pilus.

Sayang, semangat kerjanya ya. Aku udah pulang nih, lagi nunggu di jemput papa.

Oke. Kamu hati-hati ya,” balasnya.

 



Nirmala dari Puan, Agustus 2020.

Saturday, July 11, 2020

Selamat Bertambah Usia




Depok, 7 Juli 2020.


Juli adalah bulan yang paling aku tunggu sebelum datangnya Oktober— karna ada ulang tahunmu tanggal dua juli kemarin dan ada hari jadi kita— dibeberapa hari terakhir bulan Juli.

Bas, selamat bertambah usia, ya. Usia ke dua puluh lima, tepatnya. Semoga selalu diberi keberkahan dan kemudahan. Pun diberi kesehatan serta waktu yang panjang. Dan semoga, hal-hal baik selalu menyertaimu.

Pintaku nggak banyak, Bas. Cuma pengin kamu diberi sehat, supaya bisa menemaniku dan cerita kita tidak akan pernah ada habisnya. Karna sepertinya, teman-teman pembaca mulai mencintai kamu seperti aku yang tidak ada habisnya mencintai kamu pula.

Bas, capai apa yang belum sempat kamu gapai. Silakan terbang dan raih bintang-bintang. 

Aku ingat waktu Nadin bilang; lari sampai jatuh, tersungkur kalau perlu. Supaya waktu kamu pulang, kamu tau betul arti belajar.

Terakhir, sebelum kututup surat ini;
Dunia ini fana, Baskara. Semoga, kita tidak terlena dan tidak ada yang sia-sia. 

Selamat bertambah usia, Baskara.
Selamat menjajaki hari di usia yang semakin dewasa.

dari yang selalu mencintaimu,
Nirmala.

Saturday, July 4, 2020

Sabtu Malam



Rebah adalah salah satu rutinitasku akhir-akhir ini— selain memikirkan Baskara di waktu malam. Sesekali menatap langit-langit kamar. Seakan tengah menonton kisah kita di layar hologram yang tak kasat mata.

Wajah yang sudah kucal dan rambut yang nggak lagi rapih membuat perasaan ini semakin merasa bersalah. Pukul setengah dua belas malam, Baskara betul-betul datang, menepati janjinya untuk Sabtu malam.

“Bas, kamu nggak apa-apa? Capek pasti, kan?”

“Aku nggak apa-apa, La. Liat kamu, capeknya langsung ilang,” balasnya dengan nada menggoda. Meski wajahnya sudah berkata lain.

Tubuhnya cepat bersandar ke tembok. Baskara memulai ceritanya tentang waktu yang ia habiskan hari ini bersama teman-teman kerjanya. Pekerjaan yang begitu dicintainya. Kudengarkan segala cerita yang tengah ia bagi, sesekali kucuri pandang untuk menatapnya lamat— dan aku menyukai bagian ini.

“Bas, maaf ya, kamu jadi capek-capek dateng ke sini buat ketemu sama aku. Maaf, Bas.”

“La, ketemu sama kamu, udah cukup ngebuat capek aku ilang kok. Jangan minta maaf gitu, ya?”

Aku diam dan menunduk. Perasaan bersalah masih mengelilingi dadaku. 

“Ya udah, aku pulang dulu, ya? Udah malem juga. Kamu langsung tidur. Oke?”

Kutatap matanya dan mengangguk. “Makasih ya, Bas. Makasih udah ke sini.”

“Selagi aku bisa, aku bakal lakuin,” jawabnya. Memberi kecupan di keningku dalam sebelum benar-benar pulang. “Aku pulang, ya?”

Tubuh dan motor kesayangannya perlahan menjauh dari pandanganku sampai hilang ditelan tikungan di depan jalan. Pun debum knalpotnya yang ikut menghilang dari telinga.

Aku tersenyum setelahnya. Salah satu dari kisah kita di hari ke sekian itu berakhir. Layar hologram yang sejak tadi kutonton ikut menghilang, menyisakan perasaan rindu yang tidak ada habis-habisnya.

“Aku pulang dulu ya. Kepala aku pusing banget. Mungkin karna tadi bangun terlalu pagi.”

“Iya, Bas. Hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut bawa motornya. Langsung istirahat kalau udah sampe. Love you!” pesanku terkirim tanpa balasan lagi dari Baskara.

Ya, sekarang Sabtu malam. Doakan, semoga Baskara baik-baik saja, ya? Karna besok, dia masih dan harus bertempur dengan pekerjaannya.

Lekas pulih pusingnya, Bas.

Nirmala.

Saturday, June 6, 2020

Teh Manis Hangat


Tanganku lincah mengaduk teh supaya gula cepat larut di dalamnya. Aku tersenyum setelah melirik gula itu meluruh dan mulai menyatu bersama teh. Kepulan asapnya membawa wangi khas dari teh tersebut.

Kududuk di sofa depan, mencari posisi paling nyaman, kemudian menyeruput teh itu pelan-pelan. Hangat menjalar dari tenggorokan sampai ke dalam perutku. Nyeri yang sejak tadi menganggu perutku perlahan menghilang. Kembali kuletakkan cangkir berisi teh ke atas meja di depanku. Duduk menyandar sambil mengelus perut pelan.

“Di minum teh nya,” Baskara datang dengan teh hangat dan kopi hitam di tangannya. Pelan-pelan dia meletakkan keduanya di meja. Ikut duduk di sampingku dan memerhatikanku sebentar. “Sakit perutnya, ya?”

Aku mengangguk pelan. “Namanya juga hari pertama. Biasa banget aku begini.” Balasku masih sambil mengusap perut.

Dia meraih cangkir teh untukku. “Ini diminum dulu makanya. Biar hangat perutnya.”

Kusambut cangkir teh yang ia berikan. Meneguk pelan-pelan hingga tersisa setengah. Perutku menghangat, sakitnya menghilang.

Sedang Baskara beralih mengambil cangkir kopi miliknya. Meniup kepulan asap dan menyeruput perlahan. Kemudian, dikembalikan cangkir tersebut ke atas meja dengan isian masih sangat penuh. Pun kepulan yang masih berkeliaran di atas cangkir tersebut.

“Enakan perutnya?”

Aku mengangguk lagi ditambah tersenyum. “Makasih, ya.”

Dia mengangguk dan membalas senyum. Kembali meraih kopi untuk menyeruput sekali lagi. Kutatap dia dari sisi kiri, pria itu masih sama seperti pertama kali aku mengenalnya, menyenangkan.

Kubetulkan posisi dudukku, lebih tegap dari sebelumnya. Kembali meneguk teh sampai habis nggak tersisa. Perutku kembali hangat.

Aku menoleh ke samping, pria yang tengah menyeruput kopi hitam itu menghilang dari sana. Tapi, aku tetap tersenyum. Perasaanku hangat. 

Sejak tadi, Baskara memang nggak berada di sana. Dia hanya ada di dalam pikiranku dan belum ke mana-mana.

“Diminum air hangatnya, biar enakan perutnya ya,” balasan pesan darinya.

Aku tersenyum. Perilakunya masih sama. Hanya hadirnya yang belum kembali nyata.

Kubalas, “Iya, ini lagi diminum tehnya.”


—Puan, Juni 2020.

Saturday, May 23, 2020

Manusia



Gema petasan mengisi telinga. Dari balkon kamar terlihat anak-anak kecil bersama remaja lainnya asyik memukul bedug bergantian sambil mengumandangkan takbir. Perempuan itu tersenyum kecil melihat pemandangan yang memenuhi indra penglihatannya. Pun angin yang berkesiur menyapa wajahnya sopan.

“Kak,” Suara lain menyapa. Mengusap punggung belakang ramah. “Dari awal ramadhan, Ibu belum liat si Mas datang ke rumah lagi. Kamu nggak lagi berantem, 'kan?”

Perempuan itu tersenyum getir. “Nggak, Bu. Nggak lagi berantem kok. Mas lagi pengen istirahat, katanya.”

Ibu tersenyum mendengar jawaban dari anak perempuannya. Ikut duduk dan menatap lurus ke depan. “Pasangan kita itu manusia, yang nggak pernah bisa kita tebak ke mana arah pikiran dan hatinya. Jadi versi yang paling terbaik untuk diri kita udah lebih dari cukup. Tapi, kangen dan sedih juga manusiawi. Nggak ada salahnya kalau kita ngelakuin itu. Asal nggak berlarut-larut,” jelasnya masih mengusap punggung belakang anak perempuannya. Mentransfer energi baik berharap suasana hati sang putri ikut membaik. “Ibu turun, ya. Mau nemenin Ayah sama adik kamu di bawah. Nanti kamu turun juga, ya Kak?”

“Iya, Bu.”

Ibu mengangguk, beranjak dari sisi anak perempuannya. Berjalan menjauh dan keluar dari kamar yang selalu rapih.

Perempuan itu mulai mengatur napas dan isi kepalanya yang sudah terlampau jauh bercabang ke mana-mana. Hatinya tersentil mengingat kalimat dari sang Ibu. Dia menarik napas pelan, ikut beranjak dari balkon kamar— meninggalkan keramaian di depan.

Dia tersenyum kecil melihat potret dirinya bersama pria yang dipanggil, Mas— yang sengaja ditempel di meja kerjanya. “Mas, selamat untuk hari jadi kita yang ke sekian kalinya. Mudah-mudahan, kamu nggak lupa. Aku juga selalu berdoa, semoga kamu di sana selalu baik-baik dan sehat,” ucapnya sambil mengusap wajah pria itu. Kemudian, dia meraih boneka kecil berwarna cokelat yang terduduk di pinggir meja. Diletakkan bersisian dengan foto tadi. “Kamu tau seberapa besar perasaan yang aku punya. Lekas bertemu, ya Mas.”

Lekas melepas rindu.

Monday, May 18, 2020

Luka



Perempuan itu terduduk tenang sambil memandang seorang pria dari kejauhan yang tengah bersenandung riang, tertawa puas bersama kawan-kawannya.

Energi baik yang dikeluarkan oleh pria yang berada di ujung sana membuat perempuan itu ikut tersenyum. Dadanya tidak lagi berkecamuk.

“Hari ini aku mau ketemu, ya. Bisa gak?”

Perempuan itu memeluk ponselnya setelah pesan itu terkirim. Berharap-harap cemas akan balasan dari orang yang paling ia tunggu setiap harinya.

Sang pria menatap datar ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat. Setelahnya, dia kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku. Kembali bercengkrama riang dengan teman-temannya.

“Kepala aku sakit. Kayaknya nggak enak badan deh. Nggak bisa ketemu dulu, ya?”,

Perempuan itu tersenyum kecil membaca pesan yang telah sampai. Perasaannya berantakan. Dia harus menunggu lagi. Harus sabar lebih banyak lagi. Kemudian, dia beranjak dari tempatnya singgah. Melangkahkan kaki meski rasanya sakit-sakit.

“Oke. Lekas sembuh, ya.”.

Lekas sembuh untuk hatinya.


—puan, Mei 2020.


Friday, March 13, 2020

Surat ke-Sekian


Pukul dua lebih empat puluh dini hari. Lagi-lagi, aku tertidur di awal pagi.
Beberapa hari terakhir, jam tidur kacau-balau. Pun pikiran dan perasaan. Sedih datang tanpa diundang. Perih, rindu, kesal, sesak yang terus bergejolak. Bergantian menabrak dan menghantam tanpa ampun.

Malam ini, aku menangis lagi. Atas dasar rindu yang tidak berujung temu. Atas dasar peluk yang tidak singgah dalam rengkuh tuannya. Katanya, menangis adalah salah satu cara dari melegakan, juga melampiaskan. Tapi, aku lelah menangis tanpa tujuan. Menangisi seseorang yang sudah tertidur lelap dengan tenang.

Kalau saja berteman baik dengan tenang adalah kemudahan, aku senantiasa berkunjung ke rumahnya supaya jauh dari keributan kepala lantaran kesepian. Sebab, aku ingin juga merasa tenang sebagaimana dia yang tampak baik-baik saja meski aku tidak di sisinya. Aku ingin pula merasa ramai dan riang seperti dia yang tertawa puas meski keadaan tidak memungkinkan.

Hari itu, setelah kumantapkan diri dan hati untuk menerimanya, kupikir dia adalah akhir dari segalanya. Akhir dari sedih yang lalu-lalu tak berkesudahan. Akhir dari rindu yang selalu berujung temu. Akhir dari kata cinta yang kuyakin adalah menua, bersama. Tapi, nyatanya tidak. Ini adalah awal dari segalanya. Awal dari badai yang kelak mendatangkan pelangi. Awal dari tegarnya karang meski dihempas ombak berkali-kali.

Tidak ada hubungan yang seratus persen berjalan sempurna,” —kutipan dari greatmind.id . Dan benar adanya. Fase yang sangat-sangat kubenci akhirnya menghampiri; sebuah pertengkaran. Setelah satu tahun berjalan, kerikil menyebalkan itu lebih mudah ditemukan. Kerikil yang biasa mudah kualihkan, kini menghantui jalanku. Terjal. Apalagi dengan kaki telanjang, sakit. Aku tidak akan menyebut diriku sebagai “korban” dari rindu yang belum terbalas. Karena pada hakikatnya, tiap hubungan tercipta lantaran adanya kesepakatan dari dua anak manusia yang saling mencintai. Tapi, aku cukup merasa berjalan tanpa alas di bawah terik matahari— beberapa bulan terakhir ini.

Aku tidak tahu, kapan surat ini sampai kepada kamu. Namun, kalau besok-lusa kamu berhasil menemukannya; mudah-mudahan kamu mengerti, ada banyak rindu yang tertanam sendiri. Tapi, ia tidak berbunga, apalagi memiliki buah. Lantaran, puannya sibuk memberi pupuk. Sampai lupa dengan air tenangnya.

Mudah-mudahan, kita masih bersama, sewaktu nanti kamu menemukannya.


Untuk,
Bas/Bal.
❤️'24.

Depok, Maret 2020.