Pakaian-pakaian di dalam lemari sebulan belakangan ini tidak kuperdulikan— berantakan. Tiap pagi buru-buru mencari baju yang cocok untuk berangkat ke kantor, sampai lupa merapikannya seperti semula. Atau tiap kali libur, waktunya kupakai untuk tidur.
Satu-per-satu baju yang sudah tidak lagi berbentuk lipatan kuturunkan. Perlahan kulipat rapih berharap kusutnya menghilang— meski sama saja hasilnya. Di beberapa baju terakhir, kutemukan baju milik Baskara yang sempat diberikan untukku. Baju yang baru kupakai dua kali sejak ia berikan hingga hari ini.
“Kalau nanti aku pulang, baju ini bisa jadi obat kalo kamu kangen.”
“Maksudnya?” Dahiku mengernyit. “Kalo aku kangen, ya video call lah, Bas.”
“Dulu, sebelum ayahku pergi ke pulau rantaunya, baju terakhir yang dia pakai itu disimpan dan nggak dicuci. Ayah bilang, supaya wanginya tetep ada dan bisa menjadi obat diwaktu mama kangen,” jelasnya. “Makanya, aku kasih baju ini ke kamu. Kalo besok lusa kamu kangen, baju ini bisa jadi obatnya.”
Aku tersenyum. Ternyata benar yang Baskara katakan. Tiap kali rindu, kuambil baju yang ia berikan dan kupeluk erat-erat. Harum tubuhnya begitu melekat. Seperti benar raganya yang kupeluk.
Lengkungan pada bibirku tercipta. Bajunya masih kurengkuh. Kedua mataku terpejam, seakan-akan Baskara berada di depan.
“Bas, kangen itu nggak ada habisnya.”







