Bagai rumah yang asing. Pun seperti dua orang yang saling tidak mengenali satu sama lain. Sepanjang perjalanan yang padat dan ramai, kami tetap diam. Tidak satupun yang membuka percakapan. Debum knalpot dan nyaring klakson yang mengisi telinga.
Gadis itu bingung dan takut-takut. Takut memulai percakapan yang malah membuat keduanya semakin jauh.
“Kamu masih inget jalannya?”
Akhirnya gadis itu melempar pertanyaan.
“Inget dong! Aku kan pengingat yang baik.” Jawabnya.
“Iya, tapi kamu terus berusaha lupain aku.”
Dia diam. Barangkali menyiapkan jawaban yang paling tepat tanpa menyinggung perasaan diantaranya.
“Bukan aku yang berusaha lupain, tapi keadaan.” Balasnya pelan.
Keduanya saling diam.
Keadaan ini memang sulit.
“Kalau aja aku tau dari awal.”
“Apa yang mau kamu tau dari sesuatu yang emang nggak ada?”
Dia sedang beruntung. Tidak perlu repot-repot berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya karena gadis itu sudah sampai di tujuan.
“Aku pulang dulu, ya.”
Perempuan itu mengangguk pelan— meski dalam kepalanya terus-menerus menuntut jawaban.
“Iya, kamu hati-hati dijalan.”
Dibalasnya senyum dan mengangguk pelan. Pria itu memutar balik dan bergegas pulang. Sedang gadis itu masih menunggu hingga punggungnya menghilang dihabisi oleh tikungan di depan.
“Aku harus apa lagi, supaya kamu percaya dan kembali?” Lirihnya sebelum airmata merangsek jatuh.

No comments:
Post a Comment