Sunday, May 9, 2021

Moon and Sun


Bagai rumah yang asing. Pun seperti dua orang yang saling tidak mengenali satu sama lain. Sepanjang perjalanan yang padat dan ramai, kami tetap diam. Tidak satupun yang membuka percakapan. Debum knalpot dan nyaring klakson yang mengisi telinga.

Gadis itu bingung dan takut-takut. Takut memulai percakapan yang malah membuat keduanya semakin jauh. 

“Kamu masih inget jalannya?”
Akhirnya gadis itu melempar pertanyaan.

“Inget dong! Aku kan pengingat yang baik.” Jawabnya.

“Iya, tapi kamu terus berusaha lupain aku.”

Dia diam. Barangkali menyiapkan jawaban yang paling tepat tanpa menyinggung perasaan diantaranya.

“Bukan aku yang berusaha lupain, tapi keadaan.” Balasnya pelan.

Keduanya saling diam.
Keadaan ini memang sulit.

“Kalau aja aku tau dari awal.”

“Apa yang mau kamu tau dari sesuatu yang emang nggak ada?”

Dia sedang beruntung. Tidak perlu repot-repot berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya karena gadis itu sudah sampai di tujuan.

“Aku pulang dulu, ya.”

Perempuan itu mengangguk pelan— meski dalam kepalanya terus-menerus menuntut jawaban.

“Iya, kamu hati-hati dijalan.”

Dibalasnya senyum dan mengangguk pelan. Pria itu memutar balik dan bergegas pulang. Sedang gadis itu masih menunggu hingga punggungnya menghilang dihabisi oleh tikungan di depan.

“Aku harus apa lagi, supaya kamu percaya dan kembali?” Lirihnya sebelum airmata merangsek jatuh.


 

Saturday, April 10, 2021

Cermin

 


Dia kembali memutar video yang beberapa hari lalu dibuatnya. Rekaman yang sengaja ia buat guna menghilangkan kesedihan dan meredam rasa rindu. Bibirnya sempat tersenyum simpul sebelum akhirnya menghilang lantaran gemuruh menguasai pikiran dan perasaannya. Dadanya ikut sesak, air matanya merangsek untuk lebih cepat jatuh.


Layar ponselnya berubah dengan panggilan masuk dari seseorang yang paling ia kenal. Perasaannya semakin berantakan.


“Sayang,” suara pria dari ujung sana mulai mengisi telinga. “Maaf aku baru ngabarin. Tadi dia ribet banget ngajak muter-muter nggak jelas. Kalo nggak diturutin, nanti ngambek. Makin ribet lagi. Maaf, ya? Maaf jadi telat ngabarinnya.”


Dia menarik napasnya pelan. Mengatur deru napasnya agar getarannya tidak terdengar. “Iya, Sayang. Gapapa.”


“Kamu udah ngantuk, belum?”

“Belum, sih.”

“Ya udah, aku cuci muka dulu sebentar ya. Nanti aku telpon lagi. Oke, Sayang?”


Perempuan itu belum menjawab. Dia mengigit bibirnya— bingung. Dalam kepalanya, ada suatu hal yang memaksa untuk dikatakan saat ini juga. Namun, batinnya menolak berkali-kali dan percaya kalau semua akan baik-baik saja.


“Sayang? Kok diem?”

Suaranya kembali mengisi telinga. Mendistraksi perdebatan isi kepala dan batin.


“Iya, Sayang. Nanti kabarin aja kalo udah selesai, ya.”

“Oke deh, tunggu sebentar, ya!”

“Iyaa.”

“Dah, love you!”


Dia tidak bisa menahannya lagi. Air matanya tidak hanya lolos, tapi juga pecah. Namun, ia kembali menarik napasnya panjang. Berusaha tenang dan bersuara bak riang.


“Love you too.”


Panggilan berakhir.

Tangisnya menjadi-jadi.


Kenapa menjadi semenyakitkan ini untuk mencintai? batinnya mengutuk diri.

Wednesday, January 13, 2021

Mendarah


 

Dalam diam ia menutup indranya. Menulikan pendengaran, membutakan penglihatan, membisukan suara. Bibirnya bergetar dengan kedua bagian yang memaksa terkunci.


“Makanya, kerja yang bener, Mba! Kalo nggak becus, coba training lagi. Jelasin aja kok muter-muter!”


“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya ya, Kak. Tidak ada maksud kami untuk mempersulit kendala ini. Namun memang dibutuhkan beberapa bukti untuk menindaklanjuti kendala ini ya, Kak,” balasnya pelan. Menarik napas pelan-pelan.


“Terserah!”


Panggilan berakhir. Gadis itu mengelus dadanya pelan.


Kuat, ya. Kan setegar karang.” 


Kakinya lincah membawanya keluar. Mencari udara segar guna meredam panas dalam hatinya. 


Langkahnya berhenti sebelum final keluar dari ruangan. Matanya memicing, memastikan apa yang tertangkap oleh indranya.


Benar. Seorang pria yang paling ia kenal tengah bersenda-gurau dan tersenyum lepas dengan seorang perempuan— yang juga ia tahu, ada perasaan lain.


Dia memeluk kedua kakinya erat-erat. Menenggelamkan wajahnya dalam-dalam. Ia berteriak kuat. Tangisnya ikut pecah. Ingatan demi ingatan memaksa terputar. Bagian paling menyebalkan terus-menerus berlarian di kepala. Menjadi-jadi tangisnya.


Gadis itu menarik napasnya perlahan. Memaksa tangisnya berhenti lebih cepat. Pelan-pelan, ia mengatur debar dadanya yang tidak karuan.


Sebuah foto berukuran polaroid ditariknya keluar dari bawah bantalnya. Dia tersenyum kecil— meski air matanya menghiasi pipi.


“Hari ini, ada beberapa komplain yang cukup nyakitin hati aku. Tapi, gapapa. Kan, aku ini si ratu sejagat. Kamu ingat?” Dia mulai bermonolog. “Oiya, kalau aku terus doain kamu, boleh 'kan?” tanyanya.  “Biar perasaan ini, aku dan Tuhan yang tau. Soal perasaan kamu, biar jadi rahasia Sang Pemilik Semesta.” Gadis itu mengusap pelan wajah seseorang yang mengisi potret. “Makasih, ya, udah ada di dunia.”


Dialah pria yang sama.