Saturday, May 23, 2020

Manusia



Gema petasan mengisi telinga. Dari balkon kamar terlihat anak-anak kecil bersama remaja lainnya asyik memukul bedug bergantian sambil mengumandangkan takbir. Perempuan itu tersenyum kecil melihat pemandangan yang memenuhi indra penglihatannya. Pun angin yang berkesiur menyapa wajahnya sopan.

“Kak,” Suara lain menyapa. Mengusap punggung belakang ramah. “Dari awal ramadhan, Ibu belum liat si Mas datang ke rumah lagi. Kamu nggak lagi berantem, 'kan?”

Perempuan itu tersenyum getir. “Nggak, Bu. Nggak lagi berantem kok. Mas lagi pengen istirahat, katanya.”

Ibu tersenyum mendengar jawaban dari anak perempuannya. Ikut duduk dan menatap lurus ke depan. “Pasangan kita itu manusia, yang nggak pernah bisa kita tebak ke mana arah pikiran dan hatinya. Jadi versi yang paling terbaik untuk diri kita udah lebih dari cukup. Tapi, kangen dan sedih juga manusiawi. Nggak ada salahnya kalau kita ngelakuin itu. Asal nggak berlarut-larut,” jelasnya masih mengusap punggung belakang anak perempuannya. Mentransfer energi baik berharap suasana hati sang putri ikut membaik. “Ibu turun, ya. Mau nemenin Ayah sama adik kamu di bawah. Nanti kamu turun juga, ya Kak?”

“Iya, Bu.”

Ibu mengangguk, beranjak dari sisi anak perempuannya. Berjalan menjauh dan keluar dari kamar yang selalu rapih.

Perempuan itu mulai mengatur napas dan isi kepalanya yang sudah terlampau jauh bercabang ke mana-mana. Hatinya tersentil mengingat kalimat dari sang Ibu. Dia menarik napas pelan, ikut beranjak dari balkon kamar— meninggalkan keramaian di depan.

Dia tersenyum kecil melihat potret dirinya bersama pria yang dipanggil, Mas— yang sengaja ditempel di meja kerjanya. “Mas, selamat untuk hari jadi kita yang ke sekian kalinya. Mudah-mudahan, kamu nggak lupa. Aku juga selalu berdoa, semoga kamu di sana selalu baik-baik dan sehat,” ucapnya sambil mengusap wajah pria itu. Kemudian, dia meraih boneka kecil berwarna cokelat yang terduduk di pinggir meja. Diletakkan bersisian dengan foto tadi. “Kamu tau seberapa besar perasaan yang aku punya. Lekas bertemu, ya Mas.”

Lekas melepas rindu.

Monday, May 18, 2020

Luka



Perempuan itu terduduk tenang sambil memandang seorang pria dari kejauhan yang tengah bersenandung riang, tertawa puas bersama kawan-kawannya.

Energi baik yang dikeluarkan oleh pria yang berada di ujung sana membuat perempuan itu ikut tersenyum. Dadanya tidak lagi berkecamuk.

“Hari ini aku mau ketemu, ya. Bisa gak?”

Perempuan itu memeluk ponselnya setelah pesan itu terkirim. Berharap-harap cemas akan balasan dari orang yang paling ia tunggu setiap harinya.

Sang pria menatap datar ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat. Setelahnya, dia kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku. Kembali bercengkrama riang dengan teman-temannya.

“Kepala aku sakit. Kayaknya nggak enak badan deh. Nggak bisa ketemu dulu, ya?”,

Perempuan itu tersenyum kecil membaca pesan yang telah sampai. Perasaannya berantakan. Dia harus menunggu lagi. Harus sabar lebih banyak lagi. Kemudian, dia beranjak dari tempatnya singgah. Melangkahkan kaki meski rasanya sakit-sakit.

“Oke. Lekas sembuh, ya.”.

Lekas sembuh untuk hatinya.


—puan, Mei 2020.