Friday, January 30, 2015

Perihal Mengedepankan Perasaan

Bogor, 30 Januari 2015
Puanmu


Terbawa perasaan, orang bilang. Aku salah satunya, puan yang mudah terbawa perasan. Berlebihan? Sebut saja begitu. Sebab, aku lebih mengedepankan perasaan daripada pemikiran.

“Dia nggak bisa ngerti aku. Setiap hari bisanya marah terus. Padahal, dia kesel ke orang lain. Tapi, aku yang kena marah,” kataku, bercerita tentang kekasihku yang menyebalkan itu.

“Mungkin, dia pusing. Jadinya, marah ke semua orang termasuk kamu,” timpalnya. Seorang lelaki yang beberapa hari terakhir ini kukenal lewat sosial media. Rafi, namanya.

Ini bukan pertama kalinya, aku berbagi cerita kepadanya. Dan baiknya, dia selalu mau mendengarkanku. Memberi saran yang sekiranya dapat mendewasakanku.

Dia tampan.

“Aku putus. Nggak kuat.”

“Kalo emang itu yang terbaik untuk kamu, jalanin aja. Tenang, ada aku.”

Setelah hari-hari kesendirian itu datang, Rafi selalu hadir untuk menemaniku. Memberi tawa, memberi warna. Menyenangkan. Bahkan, aku seperti perempuan yang baru kenal arti bahagia. Dia bisa memberikan apa yang tidak pernah aku pikirkan. Itu ajaib, menurutku.

“Aku boleh tanya sesuatu?”

“Apa?” tanyanya.

“Sampe kapan kita kayak gini?”

“Kayak gini gimana?”

“Temenan.”

“Loh, emang kita cuma temen, 'kan?”

Aku diam, tidak bertanya lagi setelahnya.

Satu hal yang harus kamu dan kalian tahu; setiap malam, Rafi mengajakku untuk bertelepon sampai ketiduran. Paginya, dia tidak lupa memberi ucapan hangat meski sekadar lewat pesan.

Setiap hari dan selalu begitu.

Aku memiliki perasaan lebih setelah diperlakukan seperti itu? Oh, kujawab tentu.

Aku juga tidak lupa, beberapa kali, pria itu memberi kecupan hangat di dahiku setelah pertemuan malam. Sebut saja, dinner.

“Kamu baper, ya?”

Aku tersenyum miring mendengarnya. Perlu pertanyaan itu kujawab setelah perlakuanmu selama ini, hm?

Setelah hari itu— malam itu lebih tepatnya. Rafi tidak pernah lagi menghubungiku. Membalas pesan singkatku pun tidak. Muncul di sosial media juga tidak.

Ada apa? Aku yang salah, atau memang begini cara kerjanya?

Aku tidak tahu. Sebab, sampai sekarang kita tidak pernah lagi bertemu.

Kalaupun nanti aku bertemu dengannya, ingin kuucap selamat.

Selamat, atas kepatahan hati yang telah kamu buat.


Tertanda,
Puan.

1 comment: