Saturday, April 10, 2021

Cermin

 


Dia kembali memutar video yang beberapa hari lalu dibuatnya. Rekaman yang sengaja ia buat guna menghilangkan kesedihan dan meredam rasa rindu. Bibirnya sempat tersenyum simpul sebelum akhirnya menghilang lantaran gemuruh menguasai pikiran dan perasaannya. Dadanya ikut sesak, air matanya merangsek untuk lebih cepat jatuh.


Layar ponselnya berubah dengan panggilan masuk dari seseorang yang paling ia kenal. Perasaannya semakin berantakan.


“Sayang,” suara pria dari ujung sana mulai mengisi telinga. “Maaf aku baru ngabarin. Tadi dia ribet banget ngajak muter-muter nggak jelas. Kalo nggak diturutin, nanti ngambek. Makin ribet lagi. Maaf, ya? Maaf jadi telat ngabarinnya.”


Dia menarik napasnya pelan. Mengatur deru napasnya agar getarannya tidak terdengar. “Iya, Sayang. Gapapa.”


“Kamu udah ngantuk, belum?”

“Belum, sih.”

“Ya udah, aku cuci muka dulu sebentar ya. Nanti aku telpon lagi. Oke, Sayang?”


Perempuan itu belum menjawab. Dia mengigit bibirnya— bingung. Dalam kepalanya, ada suatu hal yang memaksa untuk dikatakan saat ini juga. Namun, batinnya menolak berkali-kali dan percaya kalau semua akan baik-baik saja.


“Sayang? Kok diem?”

Suaranya kembali mengisi telinga. Mendistraksi perdebatan isi kepala dan batin.


“Iya, Sayang. Nanti kabarin aja kalo udah selesai, ya.”

“Oke deh, tunggu sebentar, ya!”

“Iyaa.”

“Dah, love you!”


Dia tidak bisa menahannya lagi. Air matanya tidak hanya lolos, tapi juga pecah. Namun, ia kembali menarik napasnya panjang. Berusaha tenang dan bersuara bak riang.


“Love you too.”


Panggilan berakhir.

Tangisnya menjadi-jadi.


Kenapa menjadi semenyakitkan ini untuk mencintai? batinnya mengutuk diri.