Namun, maaf sekali. Hari ini, beberapa belakangan terakhir ini, aku menjadi sosok perempuan yang pesimis. Seperti perempuan yang kesepian. Perempuan yang selalu saja diliputi kesedihan. Aku seperti perempuan yang kurang beruntung. Aku kembali berteman dengan sakitnya pilu. Padahal di hari lalu, dialah yang menyulam sedemikian rupa hingga aku tidak lagi percaya dengan kebahagiaan yang semu. Sebab, aku memilikinya. Memiliki dia yang mencintaiku dengan sepenuhnya.
Kudengar; Bahagiakan dirimu sendiri, sebelum mengajak orang lain bahagia. Kalau kamu tidak memilikinya, apa yang akan kamu bagi setelahnya?
Seperti; cintailah diri sendiri, sebelum mencintai orang lain. Ya kalau dia tidak mencintaimu kembali, setidaknya ada dirimu sendiri yang telah mencintai cakapmu seluruhnya.
Aku pernah sebahagia itu. Bahagia dengan diriku sepenuhnya. Tidak mengecek ponsel beberapa menit sekali. Tidak ada resah yang menggeluti sebelum tidur. Tidak ada takut yang merasuki mimpi. Tidak ada sedih setelah kubangun kembali. Aku merasa seperti merdeka dengan diriku sendiri. Aku pernah sebahagia itu sebelum terjerembap dan sulit untuk berdiri.
Memiliki banyak teman di media sosial, di dunia nyata pula. Memiliki banyak peduli, memiliki banyak perhatian. Hingga perlahan mereka semua menghilang. Aku sendirian, tidak memiliki teman. Bukan satu atau dua kali datang, lalu pergi. Kali ini, tidak menengok sama sekali. Aku jatuh berkali-kali. Lebam-lebam, tetap saja tidak ada yang perduli. Katanya, begini adalah fase dimana kita beranjak dewasa. Lingkup pertemanan semakin sedikit. Lho, kalau begini, kalau tidak ada yang perduli, tidak ada teman sama sekali, masih disebut fase beranjak dewasa?
Sebenarnya, aku tidak ingin berpikir macam-macam. Menyudutkan bahwa akulah yang paling berkorban. Akulah yang paling sakit diantara yang paling rapuh. Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya berpikir bahwa aku tidak lagi seperti perempuan yang bahagia. Aku tidak bisa membuat bahagia diriku sendiri. Tidak bisa mencintai diriku sendiri. Aku seperti tidak becus dalam mengurus diri sendiri. Aku seperti perempuan bodoh yang bisanya menghardik diri sendiri.
Kuakhiri tulisan ini dengan perasaan yang masih sangat kacau balau. Tapi, aku tidak menulis ini dengan tangisan yang terkadang masih singgah di tengah malam.
Terima kasih.
puanmu,
September 2019.
