Bogor, 15 September 2017
Puanmu.
Sore itu, aku tengan bersantai sambil membaca novel edisi terbaru kesukaanku. Beginilah rutinitasku; menyendiri untuk menikmati setiap bacaan yang kumiliki. Berjalan kesana-kemari, membawa novel yang berbeda dari hari-ke-hari. Dan saat itu, aku sengaja mengistirahatkan kaki ini di bangku taman yang beberapa kali kusinggahi untuk menikmati (lagi) novel-novelku.
“Yara?” Kemudian, kudengar seseorang memanggil namaku dengan begitu dekat dan tidak asing. Dan ternyata benar, aku mengenalnya.
“Hei, ngapain kamu disini?” Seseorang itu ikut duduk disampingku.
Aku tersenyum memandangnya, laki-laki yang selama ini selalu kurindukan senyumnya. “Iya, Kev. Lagi santai aja, biasa baca novel,” balasku, menunjukkan novel terbaru.
“Kamu sibuk ga? Kita jalan, yuk?” ajaknya dengan senyum yang semakin membuatku rindu dan ingin memeluknya.
Sebenarnya aku sangat ingin meng-iya-kan ajakannya. Tapi lagi-lagi aku teringat, bahwa aku bukan lagi siapa-siapa dalam hidupnya.
“Udah gausah kebanyakan mikir, ayo!” Belum sempat aku menjawabnya, dengan segera laki-laki itu menarik tanganku dan menuntunku untuk seiring dengannya.
Namanya, Muhammad Kevlar. Dia adalah laki-laki yang pernah singgah dihatiku. Namun, tidak dengan sekarang. Sudah ada perempuan lain yang kini menepati tempatku—dulu, di hatinya.
Tidak mudah untukku melupakan dirinya dan semua kenangan yang telah diukir dengan indah olehnya. Apalagi, dia adalah laki-laki yang mengenalkan padaku, apa itu cinta. Namun sepertinya, semesta tidak merestui lagi hubungan itu. Yang akhirnya, kami pisah dan Kevlar sudah berhasil move on— tapi tidak dengan aku.
Sore itu, Kevlar mengajakku ke restoran yang selalu kami kunjungi saat masih berpacaran. Kevlar juga masih ingat makanan kesukaanku; tiramisu. Sikapnya juga tetap manis, seperti sebelumnya. Hingga aku tersadar bahwa aku bukan lagi miliknya, saat dia mulai menceritakan hubungannya dengan wanitanya.
“Aku ngga ngerti sama Hema. Dia selalu keras kepala. Dan yang paling buat aku gak habis pikir, dia video call sama laki-laki lain. Aku gak tau, sebenernya aku itu di anggap atau engga sama dia,” gerutunya sebal. Kemudian menegak kafeinnya yang masih setengah utuh.
“Mungkin itu temennya. Kamu jangan salah faham dulu,” balasku dengan sangat menahan perih yang menusuk hati ini.
Entahlah, rasanya sangat menyakitkan masih memiliki perasaan dengan laki-laki yang sudah dimiliki oleh orang lain. Ingin rasanya dia mengerti, bahwa aku tetap sakit hati.
“Iya kali, ya. Biarlah, yang penting hari ini aku sama kamu.” Senyum simpul itu kembali tercetak diwajahnya, dan dengan cepat rasa perihku hilang saat melihatnya tersenyum dan menyebut namaku. “Besok kamu sibuk ga? Besok aku jemput kamu di rumah ya,” tambahnya yang semakin membuat hatiku kembali utuh.
Aku tersenyum dan sudah pasti langsung mengiyakan ajakannya.
*
Hari demi hari terus berjalan. Sudah seminggu ini, Kevlar selalu mengajakku pergi bersamanya. Entah hanya sekedar ngopi di kafe atau berkeliling kota bersamanya. Namun, itu kesederhanaan yang sangat indah dan membuatku bahagia. Aku merasakan lagi apa itu indah, setelah remuk hingga terpecah. Dan penyebabnya adalah dia, laki-laki yang selalu kutunggu, Kevlar. Ya walaupun beberapa kali, Kevlar menceritakan Hema— kekasihnya yang menjengkelkan menurutnya, dan aku menjawabnya dengan meyakinkan kepadanya bahwa Hema tidak seperti yang dia kira. Sungguh, jauh didalam lubuk hatiku, semua itu dusta dan menyakitkan.
Malam ini, Kevlar akan mengajakku makan malam. Aku mengiyakan ajakkannya, walaupun malam ini dia tidak bisa menjemputku karena ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, katanya. Dengan senang hati, aku memilih dress yang paling indah menurutku.
Ini adalah makan malamku lagi dengannya, setelah hubungan itu kandas. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kedatanganku disambut oleh alunan-alunan merdu biola yang semakin membuat suasana romantis, dan juga membuat pipiku memerah. Entahlah apa yang ada difikiranku, tapi aku sangat senang dengan hal ini.
Kulangkahkan lagi kaki ini, mencari sosoknya yang kuinginkan. Dan saat itu, aku berhasil menemukannya. Namun, Kevlar tidak sendirian. Kevlar berdua, dengan perempuan.
Perasaanku yang awalnya berbunga kini berubah dengan cepat menjadi berkecamuk. Pipiku yang awalnya memanas, kini beralih ke mataku yang memanas. Air mataku, kurasa akan jatuh sebentar lagi. Namun, kutahan itu semua. Segera kubuat sugesti untik diriku sendiri supaya tetap tenang, walaupun fikiranku sedang kacau.
Hema. Perempuan yang kini tengah berduaan dengan laki-laki itu adalah Hema, kekasihnya.
Kubuat seulas senyum paling bahagia, meski hatiku menjerit-jerit ingin pulang saja. Namun, kembali lagi kubuat teguh perasaan ini. Kubuat setegar mungkin untuk menerima kenyataan yang tidak pernah kuinginkan.
“Yara, jadi gini. Aku sengaja ngajak kamu makan malam disini, karena aku mau berterima kasih banget sama kamu yang udah support aku selama ini buat baikan sama Hema. Dan akhirnya, aku sama Hema baikan.” Kevlar tersenyum sekilas kepadaku, kemudian menatap dalam kekasihnya.
“Iya, Kev. Sa-sama-sama.” Aku tersenyum tipis membalasnya, menahan air mataku yang semakin bertambah dan ingin segera terjun dipipiku.
Aku tidak kuat lagi, sungguh.
“Kev, Hema. Permisi sebentar, ya. Kebelet.”
Jangan tanya, apakah aku menangis di dalam sana? Sudah pasti itu terjadi. Mana ada perempuan yang bisa diam melihat laki-laki yang masih menetap di hatinya, memperkenalkan dia dengan perempuan lain?
**
Kepada laki-laki, yang memang bukan milikku lagi. Kumohon, jangan kembali dengan membawa sedikit asa. Bangkit dari kepecah-belahan tidaklah mudah. Aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama. Aku tidak menyuruhmu, apalagi memuntutmu.
Hanya saja, kumohon; jangan kembali.
Aku ingin tetap berdiri, meski tanpamu— yang pernah kukira layaknya oksigen di setiap hari.
Tertanda,
Puan.
Puanmu.
Sore itu, aku tengan bersantai sambil membaca novel edisi terbaru kesukaanku. Beginilah rutinitasku; menyendiri untuk menikmati setiap bacaan yang kumiliki. Berjalan kesana-kemari, membawa novel yang berbeda dari hari-ke-hari. Dan saat itu, aku sengaja mengistirahatkan kaki ini di bangku taman yang beberapa kali kusinggahi untuk menikmati (lagi) novel-novelku.
“Yara?” Kemudian, kudengar seseorang memanggil namaku dengan begitu dekat dan tidak asing. Dan ternyata benar, aku mengenalnya.
“Hei, ngapain kamu disini?” Seseorang itu ikut duduk disampingku.
Aku tersenyum memandangnya, laki-laki yang selama ini selalu kurindukan senyumnya. “Iya, Kev. Lagi santai aja, biasa baca novel,” balasku, menunjukkan novel terbaru.
“Kamu sibuk ga? Kita jalan, yuk?” ajaknya dengan senyum yang semakin membuatku rindu dan ingin memeluknya.
Sebenarnya aku sangat ingin meng-iya-kan ajakannya. Tapi lagi-lagi aku teringat, bahwa aku bukan lagi siapa-siapa dalam hidupnya.
“Udah gausah kebanyakan mikir, ayo!” Belum sempat aku menjawabnya, dengan segera laki-laki itu menarik tanganku dan menuntunku untuk seiring dengannya.
Namanya, Muhammad Kevlar. Dia adalah laki-laki yang pernah singgah dihatiku. Namun, tidak dengan sekarang. Sudah ada perempuan lain yang kini menepati tempatku—dulu, di hatinya.
Tidak mudah untukku melupakan dirinya dan semua kenangan yang telah diukir dengan indah olehnya. Apalagi, dia adalah laki-laki yang mengenalkan padaku, apa itu cinta. Namun sepertinya, semesta tidak merestui lagi hubungan itu. Yang akhirnya, kami pisah dan Kevlar sudah berhasil move on— tapi tidak dengan aku.
Sore itu, Kevlar mengajakku ke restoran yang selalu kami kunjungi saat masih berpacaran. Kevlar juga masih ingat makanan kesukaanku; tiramisu. Sikapnya juga tetap manis, seperti sebelumnya. Hingga aku tersadar bahwa aku bukan lagi miliknya, saat dia mulai menceritakan hubungannya dengan wanitanya.
“Aku ngga ngerti sama Hema. Dia selalu keras kepala. Dan yang paling buat aku gak habis pikir, dia video call sama laki-laki lain. Aku gak tau, sebenernya aku itu di anggap atau engga sama dia,” gerutunya sebal. Kemudian menegak kafeinnya yang masih setengah utuh.
“Mungkin itu temennya. Kamu jangan salah faham dulu,” balasku dengan sangat menahan perih yang menusuk hati ini.
Entahlah, rasanya sangat menyakitkan masih memiliki perasaan dengan laki-laki yang sudah dimiliki oleh orang lain. Ingin rasanya dia mengerti, bahwa aku tetap sakit hati.
“Iya kali, ya. Biarlah, yang penting hari ini aku sama kamu.” Senyum simpul itu kembali tercetak diwajahnya, dan dengan cepat rasa perihku hilang saat melihatnya tersenyum dan menyebut namaku. “Besok kamu sibuk ga? Besok aku jemput kamu di rumah ya,” tambahnya yang semakin membuat hatiku kembali utuh.
Aku tersenyum dan sudah pasti langsung mengiyakan ajakannya.
*
Hari demi hari terus berjalan. Sudah seminggu ini, Kevlar selalu mengajakku pergi bersamanya. Entah hanya sekedar ngopi di kafe atau berkeliling kota bersamanya. Namun, itu kesederhanaan yang sangat indah dan membuatku bahagia. Aku merasakan lagi apa itu indah, setelah remuk hingga terpecah. Dan penyebabnya adalah dia, laki-laki yang selalu kutunggu, Kevlar. Ya walaupun beberapa kali, Kevlar menceritakan Hema— kekasihnya yang menjengkelkan menurutnya, dan aku menjawabnya dengan meyakinkan kepadanya bahwa Hema tidak seperti yang dia kira. Sungguh, jauh didalam lubuk hatiku, semua itu dusta dan menyakitkan.
Malam ini, Kevlar akan mengajakku makan malam. Aku mengiyakan ajakkannya, walaupun malam ini dia tidak bisa menjemputku karena ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, katanya. Dengan senang hati, aku memilih dress yang paling indah menurutku.
Ini adalah makan malamku lagi dengannya, setelah hubungan itu kandas. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kedatanganku disambut oleh alunan-alunan merdu biola yang semakin membuat suasana romantis, dan juga membuat pipiku memerah. Entahlah apa yang ada difikiranku, tapi aku sangat senang dengan hal ini.
Kulangkahkan lagi kaki ini, mencari sosoknya yang kuinginkan. Dan saat itu, aku berhasil menemukannya. Namun, Kevlar tidak sendirian. Kevlar berdua, dengan perempuan.
Perasaanku yang awalnya berbunga kini berubah dengan cepat menjadi berkecamuk. Pipiku yang awalnya memanas, kini beralih ke mataku yang memanas. Air mataku, kurasa akan jatuh sebentar lagi. Namun, kutahan itu semua. Segera kubuat sugesti untik diriku sendiri supaya tetap tenang, walaupun fikiranku sedang kacau.
Hema. Perempuan yang kini tengah berduaan dengan laki-laki itu adalah Hema, kekasihnya.
Kubuat seulas senyum paling bahagia, meski hatiku menjerit-jerit ingin pulang saja. Namun, kembali lagi kubuat teguh perasaan ini. Kubuat setegar mungkin untuk menerima kenyataan yang tidak pernah kuinginkan.
“Yara, jadi gini. Aku sengaja ngajak kamu makan malam disini, karena aku mau berterima kasih banget sama kamu yang udah support aku selama ini buat baikan sama Hema. Dan akhirnya, aku sama Hema baikan.” Kevlar tersenyum sekilas kepadaku, kemudian menatap dalam kekasihnya.
“Iya, Kev. Sa-sama-sama.” Aku tersenyum tipis membalasnya, menahan air mataku yang semakin bertambah dan ingin segera terjun dipipiku.
Aku tidak kuat lagi, sungguh.
“Kev, Hema. Permisi sebentar, ya. Kebelet.”
Jangan tanya, apakah aku menangis di dalam sana? Sudah pasti itu terjadi. Mana ada perempuan yang bisa diam melihat laki-laki yang masih menetap di hatinya, memperkenalkan dia dengan perempuan lain?
**
Kepada laki-laki, yang memang bukan milikku lagi. Kumohon, jangan kembali dengan membawa sedikit asa. Bangkit dari kepecah-belahan tidaklah mudah. Aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama. Aku tidak menyuruhmu, apalagi memuntutmu.
Hanya saja, kumohon; jangan kembali.
Aku ingin tetap berdiri, meski tanpamu— yang pernah kukira layaknya oksigen di setiap hari.
Tertanda,
Puan.
